Adat Gayo
Mengenal Tradisi Tangis Dilo dari Tanoh Alas, Sama dengan Tradisi Pepongoten dalam Adat Gayo
Tradisi tangis dilo adalah ratapan atau menangis di waktu subuh yang dilakukan oleh calon pengantin wanita kepada ibunya.
Penulis: Cut Eva Magfirah | Editor: Mawaddatul Husna
Tangis dilo ini juga sebagai bentuk permintaan izin kepada sang ibu agar kiranya ibu tulus memberi restu kepada akad yang akan dilaksanakan beberapa jam kedepan.
TRIBUNGAYO.COM - Tradisi tangis dilo dari Tanoh Alas merupakan salah satu adat perkawinan dalam suku alas.
Tradisi tangis dilo ini hampir sama dengan tradisi pepongoten dari Tanoh Gayo.
Tanoh Alas sendiri secara geografis langsung berbatasan dengan Tanoh Gayo.
Tanoh Alas merupakan sebutan untuk daerah di Aceh Tenggara di Provinsi Aceh yang didiami oleh suku alas, suku batak dan suku gayo.
Memiliki adat istiadat perbauran dari adat gayo, adat batak membuat beberapa adat dari suku alas ini memiliki kesamaan dengan kedua adat tersebut.
Baca juga: Mengenal Tradisi Pepongoten dalam Adat Gayo, Cara Seorang Wanita Pamit dari Keluarga Sebelum Menikah
Mengapa demikian, karena jika dilihat dari sejarah Tanoh Alas ini sangat berkaitan sekali dengan ekspansi raja di Tanoh Batak ke Aceh.
Selain itu karena lokasi Tanoh Alas dulunya sebagian dari Tanoh Gayo membuat beberapa tradisinya juga sama dengan adat Gayo.
Seperti halnya tradisi tangis dilo yang hampir sama dengan tradisi pepongoten dari Tanoh Gayo.
Sama-sama dibawakan oleh seorang wanita yang hendak menikah yang disampaikan dan bentuk syair-syair kepada sang ibu.
Sebagai tanda untuk meminta restu, dan perpisahan dari keluarga pihak wanita.
Baca juga: Sanggar Pegayon dan Penyair Gayo Semarakan Sut Samut Pepongoten di Kemendikbudristek Jakarta
Melansir dari skripsi Salwa Farhani Asri "Pergeseran Adat Meupahuk Dalam Tradisi Pernikahan dan Pengaruhnya Terhadap Realitas Sosial Agama" tradisi tangis dilo adalah ratapan atau menangis di waktu subuh, yang dilakukan oleh calon pengantin wanita kepada ibunya.
Calon pengantin wanita akan menangis sambil mensyairkan kata-kata yang berupa penyesalan atas semasa hidupnya apabila ada menyusahkan kedua orang tuanya.
Tangis dilo ini juga sebagai bentuk permintaan izin kepada sang ibu agar kiranya ibu tulus memberi restu kepada akad yang akan dilaksanakan beberapa jam kedepan.
Baca juga: Bupati Aceh Tengah Sematkan Kain Adat Gayo untuk Kepala Perpusnas, Tanda Kehormatan Masyarakat Gayo
Tangis dilo juga hanya dilakukan calon pengantin wanita bersama ibunya saja di dalam kamar.
Berbeda dengan tradisi pepongoten dalam adat gayo dimana ratapan calon pengantinnya dilakukan dalam tradisi berguru yang akan disaksikan oleh keluarga, dan tamu undangan.
Pepongoten dalam Tradisi Gayo
Pepongoten merupakan salah satu tradisi yang sangat identik dengan wanita di Gayo.
Karena pepongoten merupakan cara seorang wanita pamit dari keluarganya saat hendak menikah dalam adat Gayo.
Pepongoten merupakan tradisi lisan dari Gayo yang berupa ratapan berirama.
Kata ‘pongot’ sebagai kata dasar pepongoten secara harfiah berarti tangisan ratap.
Baca juga: Bupati Shabela Ajak Masyarakat Perkuat Adat Istiadat dan Kearifan Lokal
Secara umum, bentuk pepongoten dapat digolongkan sebagai prosa liris, sementara isinya bergantung pada konteks pepongoten yang disampaikan.
Meski demikian, isi pepongoten selalu mengekspresikan perasaan dari lubuk hati yang paling dalam, karena dibawakan secara menangis.
Pepongoten paling utama disampaikan pada dua peristiwa yang sangat emosional, yaitu kematian dan pernikahan.
Pada keduanya pepongoten biasanya dibawakan oleh perempuan.
Namun, pepongoten dalam kematian ini dilarang setelah Islam hadir ke Tanoh Gayo, dimana tradisi itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Hingga saat ini tradisi pepongoten hanya dipertahankan dalam tradisi pernikahan dalam adat Gayo.
Pepongoten dalam pernikahan ini merupakan tradisi yang dilakukan calon mempelai wanita saat prosesi berguru pada malam sebelum akad nikah.
Melansir dari bbaceh.kemdikbud.go.id dalam adat Gayo perempuan Gayo itu tidak memiliki apa-apa, baik harta atau sesuatunya termasuk anak-anak adalah milik dari suami,” begitulah tulis Snouck Hurgronje dalam studinya tentang Gayo pada awal abad XX. “… perempuan itu seolah-olah benda pasif yang dapat ‘dijual’ dan ‘dibeli’, tetapi orang Gayo menyebut menango banan (mengambil istri) bukan membeli banan.
Dulu dalam tradisi pernikahan masyarakat Gayo dikenal istilah ‘juelen’ yang berarti ‘jual’.
Secara prinsip, juelen merupakan bentuk pernikahan yang mengharuskan mempelai wanita (inen mayak) masuk ke dalam keluarga mempelai pria (aman mayak).
Kalau sudah dinikahkan secara juelen, si mempelai wanita sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk mengurus orang tuanya di masa depan, karena ia sudah seperti dijual kepada keluarga orang lain.
Bagi orang tuanya, si mempelai perempuan sudah seperti anak yang akan hilang untuk selama-lamanya.
Karena itu, momen pernikahan bagi orang Gayo merupakan peristiwa yang sangat emosional, terutama bagi pihak perempuan.
Namun tradisi ini mulai pudar karena perubahan pandangan masyarakat Gayo terhadap konsep pesta pernikahan.
Upacara pernikahan dianggap sebagai momen bahagia yang tidak cocok jika diisi dengan tradisi meratap-ratap.
Di sini dapat dilihat bahwa konsep pernikahan, termasuk posisi perempuan dalam hubungannya dengan suami dan orang tuanya setelah menikah, juga telah mengalami perubahan di masyarakat.
Sekarang gadis-gadis Gayo sudah sangat jarang ada yang mampu membawakan pepongoten, sehingga menunjukkan tiadanya regenerasi tradisi pepongoten dari generasi sebelumnya ke generasi hari ini.
Kalangan yang mampu membawakan pepongoten hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja, jumlahnya sangat sedikit. Biasanya dihadirkan seniman bayaran dalam prosesi pernikahan masyarakat Gayo.
Itu pun kalau keluarga mempelai memang ingin menampilkan pepongoten sebagai tradisi khas dalam kebudayaan mereka.
Berikut sepenggal syair dalam pepongoten yang dilakukan oleh sang mempelai wanita kepada orang tuanya. (TribunGayo.com/Cut Eva Magfirah)