Berita Aceh Tenggara

WALHI Aceh Minta Aparat Penegak Hukum Tindak Pelaku Perambah Hutan di Jambur Latong Aceh Tenggara

Sebelum pembangunan jalan tembus itu dikerjakan, kawasan hutan lindung Sibolangit sudah marak terjadi perambahan dan illegal logging sejak tahun 2018 

Penulis: Asnawi Luwi | Editor: Mawaddatul Husna
TRIBUNGAYO.COM/ASNAWI LUWI
Material bebatuan dan kayu gelondongan menumpuk di lokasi banjir bandang, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Kabupaten Aceh Tenggara, Minggu (26/11/2023). 

WALHI Aceh Minta Aparat Penegak Hukum Tindak Pelaku Perambah Hutan di Jambur Latong Aceh Tenggara

Laporan Asnawi Luwi | Aceh Tenggara

TRIBUNGAYO.COM, KUTACANE - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan.

Khususnya perambah hutan di kawasan Jambur Latong, Gampong Peseluk Pesimbe, Kecamatan Deleng Pokhkison, Kabupaten Aceh Tenggara.

Perambahan hutan di kawasan tersebut telah berdampak serius terhadap bencana hidrologi di Aceh Tenggara yang terjadi akhir-akhir ini.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menunjukkan, hingga Oktober  2023, musibah banjir terjadi 19 kali.

Baca juga: Masyarakat Aceh Tenggara Gotong Royong Massal Bersihkan Jalan Nasional Akibat Banjir Bandang

Apabila dihitung hingga November 2023, sudah lebih 22 kali banjir terjadi di Negeri Tanoh Alas Metuah ini.

Sedangkan angka pada 2022 lalu sebanyak 30 kali kejadian hanya selisih tipis dibandingkan tahun 2023.

“Kami perkirakan jumlah kejadian lebih banyak lagi apabila dimasukkan data kejadian musibah banjir November 2023,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye, WALHI Aceh Afifuddin Acal dalam rilisnya kepada Tribungayo.com, Kamis (7/12/2023).

Kata Afif, pembukaan jalan di kawasan Jambur Latong - Langkat, Sumatera Utara (Sumut) di Kabupaten Aceh Tenggara sepanjang 18,52 kilometer melintasi Hutan Lindung sepanjang 7,75 kilometer, telah mempermulus praktek illegal logging maupun kejahatan lingkungan lainnya.

Baca juga: Tersangka Pembacok Warga Aceh Tenggara belum Tertangkap, Polisi Periksa 3 Saksi

Akibat praktik ilegal tersebut berdampak terjadi bencana hidrologi, terlebih Aceh Tenggara memiliki riwayat bencana banjir bandang yang cukup parah.

Ditambah lagi kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas - Singkil yang rusak parah saat ini, menduduki peringkat pertama di Aceh DAS yang harus diperbaiki.

Hasil monitoring WALHI Aceh sebelum pembukaan jalan Jambur Latong - Langkat, Sumatera Utara (Sumut), khususnya di kawasan hutan lindung Sibolangit, vegetasi hutannya masih relatif baik dan merupakan habitat satwa kunci orangutan dan kambing hutan.

Selain itu kawasan tersebut juga merupakan sumber air bagi masyarakat Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur.

Baca juga: Warga Aceh Tenggara yang Kecelakaan di Gayo Lues Alami Koma, Kini Dirujuk ke Medan

Kawasan hutan lindung Sibolangit merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai  zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Bidang III Stabat Sumatera Utara.

Kondisi tutupan hutannya pun kian terdegradasi saat ini.

Sebelum pembangunan jalan tembus itu dikerjakan, kawasan hutan lindung Sibolangit sudah marak terjadi perambahan dan illegal logging sejak tahun 2018  hingga tahun 2020.

Ini mengakibatkan terjadinya banjir bandang yang berdampak putusnya  jembatan dan merusak lahan pertanian di Kecamatan Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, Kecamatan Lawe Lawe Sumur.

Kemudian pada 2019 dan 2020 telah dibuka jalan dengan sepanjang 9 kilometer, sedang sisanya terhenti karena harus menunggu izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Baca juga: Miliki 3 Paket Sabu, Warga Aceh Tenggara Diringkus Polisi

Faktanya, baru 9 kilometer dibuka jalan di lokasi itu, akibatnya kawasan hutan lindung Sibolangit menjadi terbuka yang kemudian semakin menyuburkan kegiatan perambahan hutan tanpa ada pengawasan oleh pihak terkait.

Berdasarkan temuan WALHI Aceh di lapangan, perambahan masih terus terjadi dan di pinggir jalan yang sudah dibangun tersebut hutan mulai terbuka, bahkan ada sejumlah hutan lindung telah dirambah.

Kayu-kayu diduga hasil perambahan tergeletak di pinggir jalan sebelum diangkut menggunakan becak motor ke tempat yang dapat diakses oleh roda empat.

Parahnya lagi, cara lain perambahan hutan mengangkut kayu menunggu saat debit air sungai meningkat pada musim hujan. Kayu-kayu yang diduga hasil perambahan dihanyutkan hingga ke hulu.

“Jalan tembus ini aja belum selesai semua, perambahan terus terjadi, apa lagi kalau sudah jalan mulus, bisa lebih parah,” sebutnya.

Oleh sebab itu, WALHI Aceh meminta aparat untuk menindak tegas pelaku perambahan hutan di kawasan tersebut.

Karena apabila hutan terus terdegradasi, bencana hidrologi bakal terus menghantui warga Agara maupun kabupaten di hilir.

“Perlu ada penegakan hukum yang tegas, tangkap pelaku perambah hutan, agar ada efek jera, supaya tidak ada yang melakukan kejahatan lingkungan lagi,” tegasnya.

Menurut pandangan WALHI Aceh, bila penegakan hukum tidak ditegakkan, kerusakan tutupan hutan akan terus terjadi.

Maka bencana alam, baik banjir bandang maupun longsor tidak dapat dikendalikan.

Dampaknya bukan hanya warga yang mengalami kerugian besar, baik akibat kerusakan rumah dan hilang mata pencaharian. 

Habitat satwa juga akan terganggu, sehingga berpotensi bencana lain terjadi, yaitu konflik satwa dengan manusia. (*)

Sumber: TribunGayo
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved