Kopi Gayo

Mantra Kopi Gayo Atau Doa Ni Kupi, Dahulu Dibaca Saat Menanam, Nyerlak Atau Mangkas

Istilah Sengkewe ini ditemukan dalam teks "doa ni kupi" atau "mantra kopi" yang dahulu sering dibacakan oleh para petani kopi gayo.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Zainal Arifin
Facebook TribunGayo
Jurnalis Serambi Indonesia dan TribunGayo.com, Fikar W Eda, menyuguhkan kopi gayo kepada para awak redaksi di Kantor Tribunnews.com, di Pal Merah, Jakarta Pusat, Senin (8/8/2022). 

Publikasi yang lain menyebutkan, kopi Gayo, Aceh berasal dari Belanda yang dibawa oleh seorang pengusaha Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh.

Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis arabica yang kemudian berkembang dengan jenis yang makin beragam.

Boleh jadi budidaya kopi secara besar-besaran baru dilakukan oleh Belanda, segera setelah selesainya pembangunan jalan utama Takengon-Bireuen pada 1916 (mulai dibangun 1903), sehingga bisa dilintasi mobil.

Ketika itu kolonialis Belanda langsung membuka tiga perkebunan besar, yaitu perkebunan kopi seluas 20.000,- hektare, perkebunan teh dan perkebunan pinus.

Belanda juga membangun kilang pengolahan kopi terletak di Bandar Lampahan (Bener Lampahen), sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.

Sedangkan areal perkebunan tersebar pada radius 40 Km dari kilang.

Perkebunan kopi dan pinus mulai berproduksi pada tahun 1930-an. Keterangan ini diutarakan oleh cendikiawan Gayo, Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dalam pengantar buku “Catatan Pahala, Muhammad Ali Wari, Bandar Publishing 2010”. 

Belanda membangun areal perkebunan teh seluas 15.000,- hektare, terletak Ponok Sayur, Ponok Baru, dan Redlong, Ibukota Kabupaten Bener Meriah. Mulai berproduksi awal 1940-an. 

Teh “Redlong” sangat terkenal di Eropa sebelum Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa.

Baca juga: 150 Tahun Jakarta Golf Club Dirayakan dengan Pertunjukan Seni dan Kopi Gayo

Terganggu Saat Perang, Bergairah Setelah Tsunami

Masyarakat Gayo yang semula berkutat dengan dunia pertanian sawah, nelayan danau, lambat laun beralih ke perkebunan kopi.

Tapi usaha perkebunan kopi sempat terlantar menyusul masuknya Jepang pada 1942.

Usaha perkebunan kopi rakyat di Gayo baru berkembang setelah zaman kemerdekaan, terutama setelah selesainya konflik Darul Islam (DI/TII) tahun 1953-1960-an dan peristiwa G30S PKI.

Sejak itu, sampai sekarang masyarakat Gayo mulai mengandalkan kopi sebagai komoditas utama.

Lahan perkebunan berkembang signifikan hingga kini mencapai 106.000,- hektare lebih.

Gairah berkebun kopi kembali terganggu saat konflik Aceh pada 1997-2005.

Gangguan keamanan membuat masyarakat tak berani ke kebun. Tapi kopi Gayo kembali "menyala" seiring kemajuan pasca tsunami.

Permintaan ekspor meningkat.

Kedai kopi tumbuh pesat.

Kreativitas masyarakat mengolah kopi makin beragam. Varian-varian rasa ditemukan melalui ragam percobaan.kopi Gayo makin banyak dikenal, dalam dan luar negeri.

Baca juga: VIDEO Rahmah, Pengusaha Kopi Gayo Setahun Bisa Ekspor 65 Kontainer ke Sejumlah Negara

Mantra Kopi di Kantor Tribunnews

Pada, Senin (8/8/2022) sore, mantra kopi gayo atau “doa ni kupi” ini terdengar di Kantor Tribunnews.com, di Pal Merah, Jakarta Pusat.

Doa ni kupi dilantunkan jurnalis Serambi Indonesia dan TribunGayo.com, Fikar W Eda, saat menyuguhkan kopi gayo kepada para awak redaksi di Kantor Tribunnews.com, di Pal Merah, Jakarta Pusat.

Fikar W Eda, wartawan yang juga penyair asal Gayo Aceh ini, membacakan doa ni kupi, sambil mengaduk-aduk kopi gayo yang dibawanya.

Para awak redaksi Tribunnews tampak terdiam dan menyimak dengan seksama saat Fikar W Eda mengaduk-aduk kopi sambil membacakan mantra.

Mereka pun kemudian memberikan testemoni terhadap kopi gayo yang disuguhkan.

Acara minum kopi bersama awak Redaksi Tribunnews.com ini disiarkan langsung di Facebook TribunGayo.com.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved