Kopi Gayo
Mantra Kopi Gayo Atau Doa Ni Kupi, Dahulu Dibaca Saat Menanam, Nyerlak Atau Mangkas
Istilah Sengkewe ini ditemukan dalam teks "doa ni kupi" atau "mantra kopi" yang dahulu sering dibacakan oleh para petani kopi gayo.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Zainal Arifin
TRIBUNGAYO.COM – Kopi telah menjadi napas kehidupan orang Gayo sejak dahulu kala.
Sebelum para kolonialis datang, orang Gayo menyebut kopi dengan istilah "Sengkewe."
Kosa kata kopi atau koffee, atau Coffee, diperkirakan mulai dikenal sejak masuknya kolonial Belanda ke Tanah Gayo.
Istilah Sengkewe ini ditemukan dalam teks "doa ni kupi" atau "mantra kopi" yang dahulu sering dibacakan oleh para petani kopi gayo.
Manta kopi gayo ini diucapkan secara personal oleh petani kepada tanaman kopinya, saat menanam, "nyerlak" atau "mangkas."
Berikut "doa ni kupi" atau mantra kopi gayo.
"Sengkewe
kunikahen ko orom kuyu
wih kin walimu
tanoh kin saksimu
Matanlo kin saksi kalammu"
(Sengkewe
Kunikahkan dikau dengan angin
Air walimu
Tanah saksimu
Matahari saksi kalam mu)
Teks tersebut diperoleh dari almarhum Mustafarun, petani kopi kampung Gele Wih Ilang, Kabupaten Bener Meriah pada 2013.
"Dulu orang Gayo membacakan itu saat menanam kopi," kata Mustafa ketika itu.
Dalam teks lain, orang Gayo menjadikan kopi sebagai ungkapan pepatah, berbunyi: "muriti-riti lagu kupi, murentang-rentang lagu gantang," artinya (bersusun rapi seperti batang kopi, berbanjar seperti baris kentang).
Ungkapan lain berbunyi "kulni buet gere be kupi (begini besar kerja kok tanpa kopi).
Ungkapan ini kedengarannya sebuah canda dan sidiran halus kepada tuan rumah untuk segera menyediakan kudapan dan tentu minuman kopi dalam satu pekerjaan besar yang dilakukan bersama-sama.
Begitulah cara masyarakat Gayo menghayati kopi sebagai bagian dari kehidupannya.
Baca juga: Orang Gayo Menyebut Sengkewe, Apa Benar Kopi Dibawa Belanda?, Ini Riwayatnya
Baca juga: Yuk Lihat, Istilah dan Cara Minum Kopi Orang Gayo
Ekspresi Kebudayaan
"Mantra kopi" dan ungkapan "pepatah kopi" memperlihatkan bahwa kopi bukan sekedar minuman, melainkan ekspresi kebudayaan yang dihayati sangat intens.
Bagi orang Gayo kopi telah menjadi napas kehidupannya.
Dari biji kopi itu, orang Gayo menyambung hidup, menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi.
Dari hasil kebun kopi orang Gayo kawin dan naik haji.
Kopi adalah zamrud yang dirawat dengan segenap jiwa.
Baca juga: Gayo Wine Coffee Sajian Istimewa di Lirik Kopi Cimanggis Depok
Kopi Gayo dalam Catatan Snouck Hurgronje
Lantas bagaimana muasal kopi di Gayo?
Tak ada catatan pasti, kapan dan kapan tanaman kopi tumbuh di bumi Gayo.
Istilah “kawa” atau “sengkawa” ini juga disinggung oleh C. Snouck Hurgronje, penulis Belanda dalam bukunya “Het Gajoland en Zijne Bewoners”.
Buku ini terbit pertama kali di Batavia pada 1903.
Kemudian diterbitkan ulang dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20” oleh Hatta Hasan Aman Asnah, PN Balai Pustaka, 1996, halaman 254.
Menurut Snouck Hurgronje, saat Belanda datang, kopi sudah tumbuh di Gayo.
C. Snouck Hurgronje mengungkapkan rasa herannya karena di tanah Gayo dijumpai batang kopi.
“Darimana asalnya, seorangpun tidak ada yang tahu. Sepanjang ingatan, tidak seorangpun mengaku pernah menanam kopi, dan menganggap bahwa tanaman ini tanaman liar,” tulis C. Snouck Hurgronje.
Masih menurut C. Snouck, masa itu orang mengambil batang atau cabang tanaman kopi untuk pagar (peger) kebun.
Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung, kemudian burung itulah yang menyebarkan kopi.
“Orang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya yang kemudian dijadikan teh,” kata C. Snouck Hurgronje.
Ini artinya, bahwa kopi telah tumbuh di dataran tinggi Gayo sebelum Belanda menjejakkan kaki kawasan itu pada 1904.
Dengan demikian tidak ada alasan lagi, kalau ada yang mengatakan bahwa kopi dibawa oleh Belanda ke Gayo.
Di banyak publikasi tentang kopi, selalu disebutkan bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1696 melalui Batavia (sekarang Jakarta), dibawa oleh Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar – India.
Ditanam dan dikembangkan di tempat yang sekarang dikenal dengan Pondok Kopi -Jakarta Timur, dengan menggunakan tanah partikelir Kedaung.
Sayangnya tanaman ini kemudian mati semua oleh banjir, maka tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang kemudian berkembang di sekitar Jakarta dan Jawa Barat antara lain di Priangan, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian dikepulauan Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Timor.
Publikasi yang lain menyebutkan, kopi Gayo, Aceh berasal dari Belanda yang dibawa oleh seorang pengusaha Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh.
Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis arabica yang kemudian berkembang dengan jenis yang makin beragam.
Boleh jadi budidaya kopi secara besar-besaran baru dilakukan oleh Belanda, segera setelah selesainya pembangunan jalan utama Takengon-Bireuen pada 1916 (mulai dibangun 1903), sehingga bisa dilintasi mobil.
Ketika itu kolonialis Belanda langsung membuka tiga perkebunan besar, yaitu perkebunan kopi seluas 20.000,- hektare, perkebunan teh dan perkebunan pinus.
Belanda juga membangun kilang pengolahan kopi terletak di Bandar Lampahan (Bener Lampahen), sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.
Sedangkan areal perkebunan tersebar pada radius 40 Km dari kilang.
Perkebunan kopi dan pinus mulai berproduksi pada tahun 1930-an. Keterangan ini diutarakan oleh cendikiawan Gayo, Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dalam pengantar buku “Catatan Pahala, Muhammad Ali Wari, Bandar Publishing 2010”.
Belanda membangun areal perkebunan teh seluas 15.000,- hektare, terletak Ponok Sayur, Ponok Baru, dan Redlong, Ibukota Kabupaten Bener Meriah. Mulai berproduksi awal 1940-an.
Teh “Redlong” sangat terkenal di Eropa sebelum Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa.
Baca juga: 150 Tahun Jakarta Golf Club Dirayakan dengan Pertunjukan Seni dan Kopi Gayo
Terganggu Saat Perang, Bergairah Setelah Tsunami
Masyarakat Gayo yang semula berkutat dengan dunia pertanian sawah, nelayan danau, lambat laun beralih ke perkebunan kopi.
Tapi usaha perkebunan kopi sempat terlantar menyusul masuknya Jepang pada 1942.
Usaha perkebunan kopi rakyat di Gayo baru berkembang setelah zaman kemerdekaan, terutama setelah selesainya konflik Darul Islam (DI/TII) tahun 1953-1960-an dan peristiwa G30S PKI.
Sejak itu, sampai sekarang masyarakat Gayo mulai mengandalkan kopi sebagai komoditas utama.
Lahan perkebunan berkembang signifikan hingga kini mencapai 106.000,- hektare lebih.
Gairah berkebun kopi kembali terganggu saat konflik Aceh pada 1997-2005.
Gangguan keamanan membuat masyarakat tak berani ke kebun. Tapi kopi Gayo kembali "menyala" seiring kemajuan pasca tsunami.
Permintaan ekspor meningkat.
Kedai kopi tumbuh pesat.
Kreativitas masyarakat mengolah kopi makin beragam. Varian-varian rasa ditemukan melalui ragam percobaan.kopi Gayo makin banyak dikenal, dalam dan luar negeri.
Baca juga: VIDEO Rahmah, Pengusaha Kopi Gayo Setahun Bisa Ekspor 65 Kontainer ke Sejumlah Negara
Mantra Kopi di Kantor Tribunnews
Pada, Senin (8/8/2022) sore, mantra kopi gayo atau “doa ni kupi” ini terdengar di Kantor Tribunnews.com, di Pal Merah, Jakarta Pusat.
Doa ni kupi dilantunkan jurnalis Serambi Indonesia dan TribunGayo.com, Fikar W Eda, saat menyuguhkan kopi gayo kepada para awak redaksi di Kantor Tribunnews.com, di Pal Merah, Jakarta Pusat.
Fikar W Eda, wartawan yang juga penyair asal Gayo Aceh ini, membacakan doa ni kupi, sambil mengaduk-aduk kopi gayo yang dibawanya.
Para awak redaksi Tribunnews tampak terdiam dan menyimak dengan seksama saat Fikar W Eda mengaduk-aduk kopi sambil membacakan mantra.
Mereka pun kemudian memberikan testemoni terhadap kopi gayo yang disuguhkan.
Acara minum kopi bersama awak Redaksi Tribunnews.com ini disiarkan langsung di Facebook TribunGayo.com.