Berita Nasional

Bener Meriah Pernah Dijadikan Lokasi Kampus Institut Kesenian Aceh Sebelum Jadi ISBI Aceh

Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh Prof Wildan menulis "Menggapai Matahari" sebuah  autobiografi, berisi perjalanan hidup sang rektor.

Penulis: Bustami | Editor: Rizwan
Fikar W Eda/TribunGayo.com
BUKU REKTOR ISI - Kulit buku "Menggapai Matahari" autobiografi Prof Wildan, Rektor ISBI Aceh, Senin (3/2/2025). Rektor ISBI mengungkapkan Bener Meriah pernah menjadi salah satu lokasi akan dibangun kampius ISBI Aceh. 

Laporan Fikar W.Eda I Jakarta

TRIBUNGAYO COM, JAKARTA  - Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh Prof Wildan menulis "Menggapai Matahari" sebuah  autobiografi, berisi perjalanan hidup sang rektor.

Buku ini diluncurkan di Kampus ISBI Aceh, Jantho Aceh Besar dan dihadiri Menteri Kebudayaan Fadli Zon, pada 13 Junuari 2025. 

Didukung dua penyunting top, Yarmen Dinamika dan Ihan Nurdin, alur buku ini mengalir cair.

Cerita dibuka dari Tanoh Mirah, sebuah kampung di Kecamatan Peusangan Bireuen, kampung kelahiran Prof Wildan. 

Buku setebal 416 halaman ini juga dilengkapi puisi setiap pergantian bab, berjudul "Menggapai Matahari" yang kemudian dijadikan judul buku yang diterbitkan Bandar Publishing, 2024 ini.

Ada 12 "Menggapai Matahari" di dalamnya. Menyiratkan perjalanan anak manusia meraih cita-cita, mengarungi waktu dengan segala pernak perniknya.

Salah satu yang menarik dari buku ini  tentang terbentuknya ISBI Aceh.

Ternyata Bener Meriah pernah disiapkan menjadi lokasi pendirian Kampus Institut Kesenian Aceh (IKA) sebelum menjadi ISBI Aceh. Lahan seluas 30 hektar sudah disiapkan. 

Dalam buku ini disebutkan,  gagasan mendirikan Institut Kesenian Aceh (IKA) yang telah muncul  sejak selesainya pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh ke-2 tahun 1972. 

"Gagasan tersebut berangkat dari keprihatinan bahwa perkembangan kesenian, yang merupakan warisan budaya masyarakat Aceh yang bernilai tinggi, mengalami degradasi dalam segala aspeknya, baik yang berkaitan dengan warisan budaya tangible maupun intangible.

Banyak pihak menyadari bahwa sampai dekade 70-an banyak jenis kesenian, keterampilan, ketangkasan, pengetahuan dan pemikiran, kreativitas dan produk seni, semuanya redup dan menghilang dari kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya.

Keadaan ini terutama disebabkan oleh perang yang berkepanjangan sehingga banyak empu, pujangga, ulama, dan seniman hilang. Mereka belum sempat mewariskan keterampilan, ketangkasan, dan pengetahuan kepada generasi berikutnya," tulis Wildan.

Disebutkan gagasan luhur yang muncul pasca-PKA ke-2 tersebut timbul tenggelam dalam kurun waktu yang begitu panjang hingga sampai PKA ke-3 pada 1988 dan PKA ke-4 pada 2004.

Seiring dengan bergulirnya reformasi dan terbukanya kesempatan berpendapat di Indonesia, gagasan pendirian institut kesenian di Aceh pun mulai sering dibicarakan dalam masyarakat, terutama dalam seminar, kongres, simposium, dan pertemuan-pertemuan seniman dan budayawan.

Sumber: TribunGayo
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved