Adat Gayo

Mengenal Tradisi Tangis Dilo dari Tanoh Alas, Sama dengan Tradisi Pepongoten dalam Adat Gayo

Tradisi tangis dilo adalah ratapan atau menangis di waktu subuh yang dilakukan oleh calon pengantin wanita kepada ibunya.

Penulis: Cut Eva Magfirah | Editor: Mawaddatul Husna
Serambinews.com
Pakaian adat alas dari Aceh Tenggara. 

Berbeda dengan tradisi pepongoten dalam adat gayo dimana ratapan calon pengantinnya dilakukan dalam tradisi berguru yang akan disaksikan oleh keluarga, dan tamu undangan.

Pepongoten dalam Tradisi Gayo

Pepongoten merupakan salah satu tradisi yang sangat identik dengan wanita di Gayo.

Karena pepongoten merupakan cara seorang wanita pamit dari keluarganya saat hendak menikah dalam adat Gayo.

Pepongoten merupakan tradisi lisan dari Gayo yang berupa ratapan berirama. 

Kata ‘pongot’ sebagai kata dasar pepongoten secara harfiah berarti tangisan ratap.

Baca juga: Bupati Shabela Ajak Masyarakat Perkuat Adat Istiadat dan Kearifan Lokal

Secara umum, bentuk pepongoten dapat digolongkan sebagai prosa liris, sementara isinya bergantung pada konteks pepongoten yang disampaikan. 

Meski demikian, isi pepongoten selalu mengekspresikan perasaan dari lubuk hati yang paling dalam, karena dibawakan secara menangis.

Pepongoten paling utama disampaikan pada dua peristiwa yang sangat emosional, yaitu kematian dan pernikahan. 

Pada keduanya pepongoten biasanya dibawakan oleh perempuan.

Namun, pepongoten dalam kematian ini dilarang setelah Islam hadir ke Tanoh Gayo, dimana tradisi itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Hingga saat ini tradisi pepongoten hanya dipertahankan dalam tradisi pernikahan dalam adat Gayo.

Pepongoten dalam pernikahan ini merupakan tradisi yang dilakukan calon mempelai wanita saat prosesi berguru pada malam sebelum akad nikah.

Melansir dari bbaceh.kemdikbud.go.id dalam adat Gayo perempuan Gayo itu tidak memiliki apa-apa, baik harta atau sesuatunya termasuk anak-anak adalah milik dari suami,” begitulah tulis Snouck Hurgronje dalam studinya tentang Gayo pada awal abad XX. “… perempuan itu seolah-olah benda pasif yang dapat ‘dijual’ dan ‘dibeli’, tetapi orang Gayo menyebut menango banan (mengambil istri) bukan membeli banan.

Dulu dalam tradisi pernikahan masyarakat Gayo dikenal istilah ‘juelen’ yang berarti ‘jual’.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved