Adat Gayo
Mengenal Tradisi Tangis Dilo dari Tanoh Alas, Sama dengan Tradisi Pepongoten dalam Adat Gayo
Tradisi tangis dilo adalah ratapan atau menangis di waktu subuh yang dilakukan oleh calon pengantin wanita kepada ibunya.
Penulis: Cut Eva Magfirah | Editor: Mawaddatul Husna
Secara prinsip, juelen merupakan bentuk pernikahan yang mengharuskan mempelai wanita (inen mayak) masuk ke dalam keluarga mempelai pria (aman mayak).
Kalau sudah dinikahkan secara juelen, si mempelai wanita sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk mengurus orang tuanya di masa depan, karena ia sudah seperti dijual kepada keluarga orang lain.
Bagi orang tuanya, si mempelai perempuan sudah seperti anak yang akan hilang untuk selama-lamanya.
Karena itu, momen pernikahan bagi orang Gayo merupakan peristiwa yang sangat emosional, terutama bagi pihak perempuan.
Namun tradisi ini mulai pudar karena perubahan pandangan masyarakat Gayo terhadap konsep pesta pernikahan.
Upacara pernikahan dianggap sebagai momen bahagia yang tidak cocok jika diisi dengan tradisi meratap-ratap.
Di sini dapat dilihat bahwa konsep pernikahan, termasuk posisi perempuan dalam hubungannya dengan suami dan orang tuanya setelah menikah, juga telah mengalami perubahan di masyarakat.
Sekarang gadis-gadis Gayo sudah sangat jarang ada yang mampu membawakan pepongoten, sehingga menunjukkan tiadanya regenerasi tradisi pepongoten dari generasi sebelumnya ke generasi hari ini.
Kalangan yang mampu membawakan pepongoten hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja, jumlahnya sangat sedikit. Biasanya dihadirkan seniman bayaran dalam prosesi pernikahan masyarakat Gayo.
Itu pun kalau keluarga mempelai memang ingin menampilkan pepongoten sebagai tradisi khas dalam kebudayaan mereka.
Berikut sepenggal syair dalam pepongoten yang dilakukan oleh sang mempelai wanita kepada orang tuanya. (TribunGayo.com/Cut Eva Magfirah)