Wisata Gayo Alas
Air Panas Lawe Gurah, Objek Wisata yang Menjadi Idaman di Aceh Tenggara
Tempat ini merupakan semenanjung yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ketambe dan Sungai Alas, terletak di dalam TNGL.
Penulis: Asnawi Luwi | Editor: Mawaddatul Husna
Tempat ini merupakan semenanjung yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ketambe dan Sungai Alas, terletak di dalam TNGL.
Laporan Asnawi | Aceh Tenggara
TRIBUNGAYO.COM, KUTACANE - Air panas Lawe Gurah yang berlokai di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara merupakan objek wisata yang menjadi idaman bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kawasan ekowisata Lawe Gurah secara administratif terletak di Desa Ketambe, Kecamatan Ketambe, Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Lawe Gurah berada pada zona pemanfaatan Resor Lawe Gurah, SPTN Wilayah IV Badar, BPTN Wilayah II Kutacane dengan luasan 3.489,137 hektare.
Yaitu dengan perincian ruang publik seluas 3.381,31 hektar dan ruang usaha seluas 107,827 hektare.
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Goa Lawe Sikap Tempat Bersembunyi Pahlawan Kemerdekaan Melawan Belanda
Ruang publik artinya diperuntukkan bagi kegiatan wisata pengunjung, sedangkan ruang usaha memberikan peluang investasi kepada pihak swasta.
Guna mengembangkan kawasan Lawe Gurah dalam bentuk investasi sarana prasarana penunjang ekowisata.
Bagi Anda yang ingin berkunjung ke kawasan Lawe Gurah ini yaitu, apabila Anda dari Kota Medan- Kutacane dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat sekitar 6 jam.
Sementara dari Kutacane menuju kawasan wisata alam Gurah dapat ditempuh dengan perjalanan darat dari ibu kota Kabupaten Aceh Tenggara menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.
Jarak tempuh menuju lokasi pintu masuk kawasan lebih kurang 30 kilometer.
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Ketambe yang Mendunia di Kaki Leuser
Di Lawe Gurah, keberadaan Rafflesia sebagai bunga terbesar di dunia, Orangutan Sumatera, kedih, pemandian air panas alami, dan air terjun serta hutan hujan tropis menjadi daya tarik wisata di Gurah.
Gurah sebagai kawasan wisata alam tidak lepas dari sejarahnya dimana keberadaan Gurah juga tidak terlepas dari Stasiun Penelitian Ketambe yang berada di seberang kawasan Lawe Gurah.
Di sekitar kawasan Gurah tersebut terdapat stasiun penelitian Ketambe yang telah terkenal sebagai stasiun penelitian hutan tropis sejak tahun 197-an sebagai hutan penelitian.
Selama 30 tahun lebih, silih berganti para ahli dunia menimba pengetahuan di hutan tropis ini.
Penelitian di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan peran Stasiun Penelitian Ketambe yang didirikan pada tahun 1971 oleh Herman D Rijksen (Suharto, 2006).
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Menikmati Objek Wisata Bukit Cinta dan Air Terjun Gulo
Pada awalnya tempat ini difungsikan untuk merehabilitasi orangutan sitaan dari penduduk, dalam rangka penegakan hukum dan konservasi alam.
Tempat ini dipilih karena kaya dengan tumbuhan pakan orangutan yaitu jenis beringin (Ficus spp.), durian (Durio sp) dan banyak jenis yang lain.
Tempat ini merupakan semenanjung yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ketambe dan Sungai Alas, terletak di dalam TNGL.
Pertimbangan lainnya ialah tempat ini jauh dari perkampungan penduduk dan dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat pada lintasan jalan Kutacane – Blangkejeren.
Pada awalnya pusat penelitian Ketambe seluas 1.5 km2 (Rijksen, 1978).

Kawasan Gurah termasuk tipe dataran tinggi dan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Di samping itu terdapat topografi landai di sekitar camping ground.
Kawasan Gurah memiliki berbagai jenis flora dan fauna yang merupakan ciri khusus dari kawasan ini, memasuki kawasan Gurah, serasa menemui sebuah alam surga.
Suhu udara rata-rata di kawasan ini adalah 21,1 derajat celsius – 27,5 derajat celsius, sedangkan kelembaban nisbi 80 – 100 persen.
Musim hujan merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang berarti, dengan curah hujan rata-rata 2000 – 3200 mm per tahun.
Sungai Alas yang menjadi pembatas antara zona pemanfaatan Lawe Gurah dengan Stasiun Penelitian Ketambe sering dijadikan sebagai tempat rafting nasional karena merupakan arung jeram terbaik di Indonesia.
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Masjid Agung At Taqwa Kutacane Berdiri Megah Lantai Granite & Lampu Hias
Jenis tanah pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah kompleks podsolik merah kuning, latosol, litosol dan kompleks podsolik coklat. Kawasan ini terletak di kaki bukit (zone ketiga).
Kondisi tutupan lahan di kawasan Gurah hampir semuanya ditutupi oleh hutan primer seluas 3.191,83 Ha atau sekitar 91,47 persen dari luasan zona pemanfaatan Lawe Gurah.
Hutan yang masih primer merupakan habitat yang ideal bagi berbagai macam keanekaragaman flora dan fauna.
Kawasan Gurah ditandai dengan tumbuhan duri. Rumpun duri ini bergelantungan di pohon lain, jumlahnya mencapai 8 persen dari keseluruhan spesies tumbuhan. Tumbuhan rambat lain adalah rotan (Spiny Palms).
Banyak rotan kuat dan tebal di sini, terkadang mencapai 100 meter. Di samping flora, belantara Leuser kaya pula dengan fauna.
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Pembangunan Masjid Agung At Taqwa Habiskan Biaya Rp 72 M, Intip Kemegahannya
Sedikitnya terdapat 130 spesies mamalia menghuni hutan ini. Dan kebanyakan mamalia di Leuser adalah jenis kalong 15 spesies, kampret 13 spesies, dan tupai 17 spesies.
Mamalia lainnya adalah Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan ini merupakan binatang paling populer di Leuser dan dikenal sebagai mamalia terbesar di dunia.
Di samping itu, ada dua spesies kera Leuser yakni Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis), dan Lutung (Presbytis cristata). Juga terdapat Kukang (Nycticebus coucang), yang hidupnya di malam hari seperti Musang.
Terdapat beberapa jenis burung di kawasan ini, diantaranya adalah Rangkong (Buceros rhinoceros), Manyar, Kakak Tua (Psittinus cyanurus) Elang (Spilornis cheela), Balam (Treron vernans), Merbuk (Merops leschenaulti), dan lain-lain.
Masyarakat Lawe Gurah Jadi Pemandu Wisata
Masyarakat sekitar Lawe Gurah menjadi pelaku utama wisata di kawasan ini.
Sebagian masyarakat menjadi pemandu wisata, penyedia guest house atau penginapan, menjual souvenir, menjual makanan dan agen perjalanan.
Dari segi kesejahteraan ekonomi, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, namun banyak juga bekerja di sektor pariwisata seperti pemandu wisata, berjualan souvenir, agen wisata dan lain-lain.
Perekonomian Desa Ketambe, merupakan desa yang berbatasan dengan kawasan Gurah secara umum didominasi pada sektor perkebunan dengan sistem pengelolaan masih sangat tradisional (pengolahan lahan, pola tanam maupun pemilihan komoditas produk pertaniannya).
Produk pertanian Desa Ketambe lahan produktif untuk lahan perkebunan seluas 60 hektare. Untuk lahan perkebunan non produktif seluas 30 hektare.
Baca juga: Wisata Aceh Tenggara, Villa Bustanil Arifin Ketambe, Wisatawan Serasa Berada di Hutan Amazon
Hal ini diakibatkan adanya struktur tanah yang mungkin belum tepat untuk produk unggulan yang mayoritas tanaman coklat, jagung dan nilam.
Persoalan yang mendasar kurangnya pengetahuan tentang pola bercocok tanam dan pengendalian hama pada tanaman secara tepat.
Untuk Desa Ketambe Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah, luas desa 888 hektare, luas lahan sawah nol, luas lahan bukan sawah 843 ha, dan luas lahan non pertanian 17 hektare.
Masyarakat Desa Ketambe masih mempertahankan kesenian tradisional yang telah mendunia, yaitu Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu.
Selain itu terdapat Tarian Mesekat, adalah bentuk tarian yang mengkombinasikan gerakan tangan dan badan dengan lantunan syair-syair berisi tuntunan keagamaan dan kehidupan bermasyarakat.

Syair-syair tersebut dilantunkan oleh para penari sambil melakukan gerakan tarian. Mesekat biasanya dimainkan oleh kaum pria.
Terdapat juga kesenian Pelebat yaitu seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan.
Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian lain adalah Bangsi yang menggunakan seruling sebagai medianya.
Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.
Disamping itu, juga terdapat kesenian Canang yaitu kesenian Tradisonal adat Alas yang menggunakan alat musik berupa kaleng ataupun gamelan yang terbuat dari logam, dimainkan oleh beberapa wanita.
Dan kesenian Lagam adalah salah satu kesenian Suku Alas disamping berbagai kesenian tradisional lainnya yang menjadi unggulan wisata budaya di kawasan wisata alam Lawe Gurah. (*)
Update berita lainnya terkait Wisata Gayo Alas DISINI dan Google News