Seminar Didong

Seminar Didong: Syair Didong dalam Perspektif Islam, Hukumnya Mubah 

Dalam Islam, kata TIR, terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan sya'ir, ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya & adapula yang mencela

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
FOTO IST
Tgk Irwansyah Al-Waqi atau TIR (tengah) saat menerima sertifikat dari pengaruh seminar dr Eddi Junaidi SpOG SH MKes. 

“Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah SAW di Al-‘arajTiba-Tiba seorang penya’ir membacakan sya’ir kepada kami Rasulullah-Pun berkata” Tahan Syaitan itu, dan peganglah….Lalu beliau bersabda ”Lambung-lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan sya’ir”.

Ibnu Bathal berkata: sebagian ulama berpendapat bahwa sya’ir yang dimakud dalam hadits tersebut adalah hujatan-hujatan dan cacian terhadap Rasulullah SAW.

Baca juga: Ini Narasumber Seminar Didong, Ibnu Hajar Laut Tawar, Ceh M. Din, Muchlis Gayo hingga Tgk Irwansyah

Akan tetapi Abu Ubaid secara pribadi berdasarkan kesepakatan ulama menganggap bahwa penafsiran tentang ma’na sya’ir adalah: Penafsiran yang salah, sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu kalimat yang mengandung hujatan kepada Rasulullah SAW, maka akan menjadikan kufur.

Akan tetapi dikalangan sebahagian ulama melarang sya’ir dan bersya’ir secara mutlak, hal  tersebut didasarkan perkataan Rasulullah SAW” Tahan Syaithan itu”dan Firman Allah: “Wassyu’ara’u yattabi’uhumul Ghawuuna”
Artinya”Dan penya’ir-penya’ir itu diikuti oleh Orang-orang yang sesat” (QS. Al-Syu’ara: 224).

Baca juga: Panitia Seminar Didong Gelar Pertemuan di Rumah Peradaban Gayoquine

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas mereka yang melarang sya’ir secara mutlak menganggap bahwa sya’ir dan bersya’ir merupakan pekerjaan syaithan yang sesat.

"Para ahli tafsir seperti Al-Thabary berpendapat bahwa para ahli sya’ir tersebut mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat menurut Ibnu Abbas adalah para pembuat sya’ir dari kalangan orang-orang kafir, dan yang lainya berpendapat yang dimaksud dengan dengan orang sesat adalah syaitan," kata TIR yang melakukan safarai sawah sampai daerah pelosok.

Ikrimah berkata bahwa suatu ketika terdapat dua ahli sya’ir yang saling mencaci maki satu sama lain dengan menggunakan sya’ir, maka Allah menurunkan ayat ini (QS.Al-Syu’ara’ :224).

Qatadah berpendapat bahwa para ahli sya’ir memuji seseorang dengan hal-hal yang bathil dan mencela dengan hal-hal yang bathil pula.

Imam Al-Qurthuby mengomentari Hadits Abu Said Al-Khudri dengan mengatakan bahwa para ulama berkata bahwasanya Rasulullah SAW mencela penya’ir tersebut, karena beliau telah mengetahui keadaan penya’ir tersebut.

Karena dia dikenal sebagai penya’ir yang menjadikan sya’ir-sya’irnya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga dia berlebihan dalam memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi.

Sehingga menyiksa manusia baik dari segi harta maupun kehormatan, oleh karena itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari. 

TIR juga mengutip pendapat An-Nawawi:  sya’ir itu hukumya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya.

Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan “Memenuhi pertunya degan sya’ir” adalah ketika telah menguasainya dimana dia lebih disibukkan dengannya daripada Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam yang lainya.

Maka hal tersebut menjadi sya’ir yang tercela apapun bentuknya.

Sumber: TribunGayo
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved