Seminar Didong
Seminar Didong: Syair Didong dalam Perspektif Islam, Hukumnya Mubah
Dalam Islam, kata TIR, terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan sya'ir, ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya & adapula yang mencela
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
Intinya apabila seseorang menjadikan Al-Qur’an dan ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat sya’ir dan melantunkannya selama sya’ir tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’at.
Sya’ir dalam Berdakwah
Dari Aisyah beliau berkata”Seseorang bertanya padanya”Apakah Rasulullah SAW Pernah melantunkan Sya’ir?,
Aisyah menjawa beliau pernah melantunkan Sya’ir Ibnu Rawahah dan beliau melantunkannya dan telah dating kepadamu berita tanpa tambahan (HR. Tirmidzi).
Penjelasan dari Aisyah menunjukkan bahwasaya Rasulullah SAW, hanya menyebutkan dan melantunkan potongan sya’ir karya Abdullah Bin Rawahah pada masa perang Khandak dengan tujuan agar lebih bersemangat, karena sesungguhnya sya’ir-sya’ir karya beliau sangat indah dan menggugah para syuhada.
Sebagai contoh: “Akan tampak kepadamu hari-hari dimana kebodohanmu dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka”.
"Dan banyak lagi riwayat-riwayat lainya yang menunjukkan bahwa beliau hanya menyebutkan sya’ir karya para sahabat-sahabat dengan cara memotongnya bukan dari sya’ir-sya’ir beliau karena pelarangan dari Allah SWT.
Hal ini bertujuan agar orang-orang kafir tidak menyebut Rasulullah SAW adalah ahli pencipta sya’ir dan penya’ir kaena Al-Qur’an adalah Mu’zizat dari Allah SWT untuk Baginda Rasulullah SAW yang tak terbantahkan oleh orang-orang kafir sejak dahulu sampai sekarang.
Berdasarkan pada analisis dari pendapat para ulama di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa hadits Rasulullah SAW, yang menyebutkan secara eksplisit larangan sya’ir dan bersya’ir bersifat temporal karena sya’ir yang terlarang adalah sya’ir yang mengandung cacian, celaan dan hinaan terhadap harkat, martabat manusia baik secara khusus maupun umum.
Sehingga hadits tentang larangan sya’ir dan bersya’ir hanya dapat dipahami dengan kaidah”Al-‘Ibratu Bikhusus As-Sabab la Bi ‘Umum Al-Lafadz” yang dijadikan sebagai patokan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafadz”, akan tetapi Rasulullah SAW sebagai orang Arab memiliki kecenderungan melantunkan Sya’ir dan mendengarkanya.
Dari uraian tersebut, TIR menyimpulkan, sya’ir, bersya’ir dan menjadi penya’ir itu hukumnya mubah (dibolehkan) dalam agama Islam, namun sya’ir-sya’ir yang disusun dengan tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah SWT.
Dengan tujuan untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan mereka atau membangkitkan semangat kaum muslimin dan melemahkan semangat orang-orang kafir dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
"Maka Sya’ir tersebut adalah sya’ir yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalm Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli sya’ir dari kalangan shabat seperti Hasan, Labid, Abdullah Bin Rawahah serta para sahabat yang lainnya.
Selain itu, larangan mutlak untuk menyusun sya’ir dan melantunkannya hanya untuk mencela,menghina dan mencaci maki Rasulullah SAW, dan umatnya," ujar TIR. (*)
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.