Berita Nasional

WALHI Aceh Kutip Prof Tajuddin Bantacut, Tambang Emas Timbulkan Dampak Buruk

WALHI Aceh sudah mengirimkan dokumen tanggapan tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kantor pusat PT. LMR di Jakarta.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Khalidin Umar Barat
For TRIBUNGAYO.COM
LOGO WALHI ACEH 

Laporan Fikar W.Eda I Jakarta

TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Direktur WALHI Aceh Ahmad Salihin, akrab disapa Om Sol, mengutip kajian
dan analisis dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Tajuddin Bantacut, bahwa tambang emas berdampak buruk terhadap 3 aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

"Dari aspek lingkungan hidup, kata Om Sol dipastikan akan terjadi kerusakan ekosistem yang berpengaruh terhadap kehilangan biodiversitas, tangkapan air, situs budaya, sejarah, dan penurunan produksi pertanian.

Selain itu juga berpotensi menurunnya kualitas udara dan kesuburan tanah serta siklus hidrologi," kata Om Sol.
Prof Tajuddin Bantacut adalah seorang putra Gayo berasal dari Ketol Aceh Tengah.

Prof Tajuddin telah menyampaikan hasil kajiannya dalam berbagai pertemuan secara daring dan luring.

Seperti diberitakan, WALHI Aceh Tolak Tambang Emas PT LMR di Aceh Tengah, tegas menolak tambang emas PT Linge Mineral Resource (LMR) demi menyelamatkan lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), perekonomian dan sosial budaya di dataran tinggi Gayo.

Penolakan terhadap tambang emas PT. LMR tersebut tertuang dalam surat tanggapan Pengumuman Tambahan Rencana Studi AMDAL Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Bijih Emas DMP milik PT. LMR.

WALHI Aceh sudah mengirimkan dokumen tanggapan tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kantor pusat PT. LMR di Jakarta.

Disebutkan, perubahan ekosistem akibat adanya lubang tambang akan mengalami gangguan signifikan terhadap iklim mikro dan siklus hidrologi permukaan dan air tanah, karbon dan hara, karena adanya cemaran langsung berupa bahan kimia, lumpur dan limbah domestik akan berdampak terhadap perubahan iklim.

Adanya konversi lahan pertanian dan hutan menjadi lubang atau bekas tambang juga berdampak terhadap kualitas kopi di dataran tinggi Gayo. Tak hanya itu, banyak juga flora dan fauna dalam kawasan akan hilang.

Terlebih lagi areal izin PT LMR juga masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan hutan konservasi tinggi yang menjadi jalur migrasi 4 satwa kunci yang dilindungi.

“Habitat satwa endemik juga berpotensi hilang dan bahkan bisa menyebabkan kepunahan. Bila ditinjau dari aspek ekonomi, tidak banyak kemanfaatan yang didapatkan warga dengan adanya tambang emas itu dibandingkan dengan perkebunan kopi,” tegasnya lagi.

Namun yang harus dipahami distribusi pendapatan timpang antara pemilik modal dan pemilik kawasan, yaitu masyarakat dataran Tinggi Gayo. Justru PAD yang diperoleh nantinya tidak sebanding dengan kerusakan hutan pasca tambang.

“Kopi memberikan kemanfaatan berkelanjutan (antar generasi), sedangkan tambang hanya untuk satu atau dua generasi saja, setelah itu ekosistem rusak dan butuh waktu lama untuk memulihkan kembali,” jelasnya.

Om Sol menyebutkan, investasi tambang merupakan praktek eksploitasi Sumber daya Alam (SDA), sementara perkebunan kopi bentuk pemanfaatan SDA yang berkelanjutan sampai generasi ke generasi tanpa batas.

Sumber: TribunGayo
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved