Gajah Putih Muncul di Aceh

Peristiwa Gajah Putih, Sengeda dan Raja Linge XIV Terjadi Pada Masa Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II 

Kisah ini berawal dari keterlibatan Raja Linge XIII dalam pemerintahan Aceh dan Johor serta perseteruan yang terjadi di antara para pewarisnya.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Sri Widya Rahma
Generated by AI
GAJAH PUTIH - Foto yang mengilustrasikan gajah putih dibuat menggunakan kecerdasan (META AI), pada Selasa, (4/3/2025). Peristiwa Gajah Putih yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II (1539–1571) merupakan salah satu kisah bersejarah yang menggambarkan dinamika hubungan politik antara Kesultanan Aceh, Kerajaan Johor, dan Tanah Gayo. 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Peristiwa Gajah Putih yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II (1539–1571) merupakan salah satu kisah bersejarah yang menggambarkan dinamika hubungan politik antara Kesultanan Aceh, Kerajaan Johor, dan Tanah Gayo.

Kisah ini berawal dari keterlibatan Raja Linge XIII dalam pemerintahan Aceh dan Johor serta perseteruan yang terjadi di antara para pewarisnya.

Sekitar tahun 1511, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Kesultanan Aceh menjalin hubungan erat dengan Sultan Mahmud Syah dari Malaka.

Salah satu bentuk aliansi politik yang terjalin adalah pernikahan antara Sultan Alauddin Mansyur Syah, putra Sultan Mahmud Syah, dengan seorang putri Aceh.

Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka juga dinikahkan dengan Raja Linge XIII, seorang bangsawan Gayo yang memiliki kedudukan penting di Aceh dan Johor.

Raja Linge XIII kemudian turut serta dalam perlawanan terhadap Portugis, baik di Aceh maupun Johor.

Ia adalah Staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh.

Saat Kerajaan Johor baru terbentuk pada tahun 1533, ia diangkat sebagai salah satu pejabat penting dalam kabinet pemerintahan Sultan Johor.

Dalam misinya memperluas wilayah Johor, ia membuka daerah baru yang kini dikenal sebagai Pulau Lingga.

Di Pulau Lingga, Raja Linge XIII memiliki dua putra, Bener Merie dan Sengeda.

Namun, setelah kematiannya, istrinya kembali ke Aceh bersama kedua anaknya.

Ketika mereka dewasa, ibu mereka mengungkapkan asal-usul ayah mereka, dan keduanya berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui Raja Linge XIV, saudara ayah mereka.

Namun, kedatangan mereka tidak diterima dengan baik.

Raja Linge XIV justru menuduh mereka bertanggung jawab atas kematian ayahnya dan menjatuhkan hukuman mati.

Bener Merie dieksekusi, sedangkan Sengeda diselamatkan secara diam-diam oleh Raja Cik Serule.

Pada masa yang sama, Sultan Alaidin Ria’yah II mengumumkan keinginannya untuk mendapatkan seekor gajah putih dari hutan-hutan Tanah Gayo.

Hadiah besar dijanjikan bagi siapa saja yang berhasil menangkap dan menyerahkannya kepada Sultan.

Tanpa mengetahui bahwa penangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda, Raja Linge XIV mempersiapkan persembahan untuk Sultan.

Namun, saat upacara penyerahan di Kraton Aceh, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Gajah putih yang semula jinak tiba-tiba mengamuk, menolak dipersembahkan oleh Raja Linge XIV.

Kejadian ini hampir merenggut nyawanya, karena gajah tersebut justru menyerangnya.

Kisah ini dikutip dari buku "Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda,"hlm. 39–42, ditulis oleh MH Gayo, penerbit PN Balai Pustaka. (*)

Baca juga: Reje Linge, Gajah Putih dan Struktur Tari Guel

Baca juga: Ismanadi Keturunan Cik Serule: Kemunculan Gajah Putih di Bener Meriah Pertanda Baik bagi Tanah Gayo?

Baca juga: Kisah Gajah Putih Penjelmaan Anak Reje Linge XIII, Legenda yang Mengakar Bagi Masyarakat Gayo

Sumber: TribunGayo
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved