Jejak Sejarah Kolonial Belanda

Kopi Gayo dan Jejak Sejarah Kolonial Belanda yang Ditinggalkan di Belang Gele Aceh Tengah

Di balik harum secangkir kopi Gayo, tersimpan sejarah panjang yang berakar dalam pada tanah, budaya, dan perjuangan masyarakat Gayo

|
Penulis: Alga Mahate Ara | Editor: Rizwan
Istimewa
KOPI GAYO - Zaini Petani kopi gayo bersama wartawan Tribungayo Alga Mahate Ara dalam Wawancara Ekslusif di kedimananya, Belang Gele, Bebesen Aceh Tengah, Jumat (1/8/2025)  

Laporan Alga Mahate Ara|Aceh Tengah

TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Di balik harum secangkir kopi Gayo, tersimpan sejarah panjang yang berakar dalam pada tanah, budaya, dan perjuangan masyarakat Gayo di dataran tinggi Aceh Tengah.

Zaini, seorang pemerhati kopi sekaligus pendiri Kampus Kopi dan Pusat Pelatihan Petani Perdesaan Swadaya (P4S), mengajak menyusuri jejak historis kopi yang kini mendunia itu.

Kecintaan Zaini terhadap kopi Gayo bukanlah sekadar profesi, tapi bagian dari perjalanan hidupnya. Di tahun 2010, ia pernah memenangkan kontes Specialty Coffee Arabica Indonesia di Bali dengan skor tertinggi 85,43, yang dinilai oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA) dan Coffee Quality Institute (CQI).

Dari Kementerian Pertanian RI, ia pun diganjar sebagai petani berprestasi atas dedikasinya mengembangkan kopi berkualitas tinggi.

Namun lebih dari penghargaan, Zaini menaruh perhatian serius terhadap akar dan identitas kopi Gayo.

Menurutnya, sejarah mencatat ada perdebatan soal tahun kemunculan kopi Gayo.

Ada yang menyebut tahun 1924, ada pula yang mengatakan tahun 1928.

Namun, tahun 1924 yang paling umum diyakini masyarakat sebagai momen awal tumbuhnya kopi Gayo di Aceh Tengah.

Di sinilah, Belang Gele menjadi titik kunci. Wilayah yang kini masih menyimpan situs-situs peninggalan kolonial seperti bak-bak penampungan air dan jalan bernama "Jalan Mascafe". Nama ini, terang Zaini, berasal dari istilah dalam bahasa Belanda atau Jepang yang berarti “perkumpulan koprasi”.

“Di sinilah (Belang Gele) dulunya menjadi tempat pengumpulan hasil dari daerah-daerah sekitar seperti Paya Tumpi, Burni Bius, Bergendal, dan Blok C,” jelas Zaini.

Ia menambahkan bahwa Belang Gele memiliki sekitar 35 hektar lahan yang dulunya diklaim sebagai wilayah binaan Belanda dalam pengembangan kopi.

Cerita rakyat menyebut, biji kopi Gayo tidak serta-merta diberikan kepada masyarakat.

Justru, untuk mendapatkannya, para pekerja pribumi harus menyelipkan biji kopi dari perusahaan Belanda ke balik piyama mereka, hanya satu hingga tiga butir saja.

Tindakan kecil tapi penuh makna, karena saat itu kopi dianggap barang mewah dan bahkan diyakini mampu "membuat orang Gayo pintar" jika meminumnya alasan mengapa Belanda melarang konsumsi kopi bagi pribumi.

Halaman
12
Sumber: TribunGayo
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved