GOS TAKENGON BERALIH FUNGSI

40 Tahun Berdiri, GOS Takengon Tetap Seperti Awal Dibangun

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Sri Widya Rahma
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

GEDUNG OLAH SENI TAKENGON - Foto sebelah kiri menunjukkan kondisi Gedung Olah Seni (GOS) pada Selasa (10/6/2025). Sebelah kanan merupakan seniman Tanah Gayo, Fikar W Eda. GOS Takengon, setelah 40 tahun pada 2025 ini, GOS tetap seperti awal dibangun, gedung rintisan Bupati HM Beni tidak ada yang berubah.

Laporan Fikar W Eda | Aceh Tengah

TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Masa kecil hingga menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), saya Fikar W Eda,  jalani kehidupan  di Tanah Gayo, tepatnya di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.

Saat itu, Takengon hanyalah sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk yang belum mencapai 50 ribu jiwa.

Terletak di pedalaman Provinsi Aceh, Takengon berjarak 101 kilometer (Km) dari Bireuen atau sekitar 380 km dari Banda Aceh ibukota provinsi, yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 5 hingga 6 jam.

Saya menamatkan pendidikan SD, SMP dan SMA di Takengon. Setelah itu, saya melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh.

Di kota kecil itulah saya mengenal dunia seni terutama teater dan puisi. Saya juga memulai langkah sebagai penulis reportase kesenian untuk Harian Waspada, sebuah surat kabar yang terbit di Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

Aktivitas seni saya dimulai secara serius sejak 1983, ketika bergabung dengan Sanggar Arimulomi Takengon, yang dibina oleh pasangan suami istri Bang Fajaruddin dan Kak Dumasari, dua sosok yang sangat peduli terhadap seni dan generasi muda.

Pentas teater pertama saya berlangsung pada 8 April 1983.

Saat itu saya memerankan tokoh pemuda dalam naskah “Sandra Loka Penghuni Rumah Setan”, karya Raswin Hasibuan.

Naskah tersebut disutradarai oleh seorang seniman teater asal Medan yang bekerja di Takengon sebagai tenaga kesehatan, Ipap Suprapto. Di Medan Bang Ipap tergabung dalam Teater Nuansa.

Pementasan itu berlangsung di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon, seusai waktu Isya.

Meski gedung ini tidak memiliki akustik yang baik dan minim fasilitas pencahayaan serta sistem suara, semangat kami tak pernah padam.

Bahkan, untuk menyediakan bangku penonton kami harus meminjam kursi kayu dari sekolah dasar terdekat dan segera mengembalikannya malam itu juga karena akan dipakai keesokan harinya oleh para siswa.

Berulang kali kami mengadakan pementasan teater di GOS. Salah satu naskah yang masih saya ingat adalah “Kering” karya Sjaful Hadi JL, yang juga disutradarai oleh Ipap Suprapto.

Pementasan ini digelar pada tahun 1984, dan berhasil meraih juara dalam Festival Teater Rakyat Provinsi Aceh, mewakili Aceh ke ajang yang sama di Sumatera Utara.

Kami juga menggagas Festival Teater Sekolah se-Aceh Tengah, dan diminta membina kelompok-kelompok teater sekolah yang akan ikut serta dalam festival tersebut.

Di tengah semangat teater, saya juga mendalami sastra, khususnya puisi, di bawah bimbingan Bang Sjaiful Hadi JL, wartawan dan penyair asal Medan yang berdinas di Takengon.

GOS, pada masa itu adalah satu-satunya gedung seni yang di bangun pemerintahan Orde Baru di tingkat kabupaten.

Aceh Tengah saat itu dipimpin Bupati HM Beni Bantacut. Kehadiran GOS di Takengon berkat lobi sang bupati  dengan pemerintah Pusat. Kini  begitu ceritanya.

Aktivitas kesenian saya tidak berhenti di Takengon. Ketika pindah ke Banda Aceh untuk melanjutkan kuliah di Unsyiah, saya bergabung dengan Teater Mata, kelompok teater yang dipimpin oleh Maskirbi (almarhum), yang wafat dalam bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.

Saya juga bergabung dengan Teater Mitra Kencan, pimpinan almarhum Pungi Arianto Toweren, sahabat saya semasa aktif di Teater Arimulo Takengon.

Saat itu, Pungi sudah bekerja di Percetakan Negara Banda Aceh, dan juga berprofesi sebagai wartawan Harian Analisa biro Banda Aceh.

Bersama Maskirbi, kami sempat menerbitkan antologi puisi berjudul “Ranub”, namun sayangnya seluruh dokumentasi antologi tersebut turut hilang dalam dahsyatnya tsunami.

Kembali ke GOS Takengon, setelah 40 tahun, pada 2025 ini, GOS tetap seperti awal dibangun. Gedung rintisan Bupati HM Beni tidak ada yang berubah.

Padahal Aceh Tengah sudah berganti begitu banyak bupati setelah itu HM Djamil, TM Yoesoef Zaineol, Buchari Isaq, Mustafa M Tamy, Ir Nasaruddin, Shabela Abubakar, dan kini Haili Yoga.

Belum lagi ada Pj Bupati, Zainudin Mard, Ir Mohd Tanwier, Syahbuddin BP, Teuku Mirzuan, dan Subhandy yang pernah memimpin Aceh Tengah.

GOS, sesuai namanya adalah gedung untuk pembinaan seni. Pusat aktivitas berkesenian. Tempat berlatih dan pertunjukan.

Tapi fungsi itu bergeser jauh. Belakangan gedung ini jadi tempat resepsi perkawinan, deklarasi politik, sampai acara wisuda dan sebagainya.

Fungsinya sebagai pusat aktivitas seni sudah bergeser jauh. Ini yang dikeluhkan banyak seniman daerah itu.

Mereka minta Bupati Haili Yoga punya perhatian terhadap keberadaan gedung seni di Takengon. Harapan ini disuarakan Seniman Sjaiful Hadi JL, Ipap Suprapto, Salman Yoga dan banyak lagi.

Anggota Komisi Pendidikan dan Kebudayaan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah M Syukri, juga berpandangan serupa.

GOS harus direnovasi dan fungsinya dikembalikan sebagai pusat aktivitas seni.

Jangan sampai GOS berubah jadi rumah setan, seperti drama yang saya mainkan di GOS pada 8 April 1983, yang saya singgung di awal tulisan ini. (*) 

Baca juga: Anggota DPRK Aceh Tengah Soroti Fungsi GOS Takengon, Dinilai Telah Menyimpang

Baca juga: Penulis Naskah Teater Reje Linge XIV Soroti Kondisi GOS Takengon "Simbol Budaya yang Terlantar"

Baca juga: Generasi Keturunan Abu dan Abit Provinsi Aceh akan Dikukuhkan di GOS Takengon