Berita Nasional

12 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Diakui Negara, Tiga di Aceh

Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diakui negara, diumumkan pada 11 Januari 2023 lalu.

Museum HAM
Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998, peristiwa masa lalu yang diakui negara sebagai Pelanggaran HAM Berat di Indonesia. 

12 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang Diakui Negara, Tiga di Aceh

TRIBUNGAYO.COM - Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diakui negara, diumumkan pada 11 Januari 2023 lalu.

Antara lain peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989.

Peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

Kemudian, peristiwa Wasior Wamena, peristiwa pembantaian dukun santet di Banyuwangi 1998, peristiwa Simpang KAA 1999, peristiwa Jambo Keupok 2003, dan peristiwa Rumah Geudong 1989-1998.

Baca juga: Dikecam, Rumoh Geudong Hanya Menyisakan Tangga Sebagai Bukti Sejarah Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Tiga peristiwa itu terjadi di Aceh yaitu peristiwa Simpang KKA 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Peristiwa Jambo Keupok 2003 di Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.

Dan peristiwa Rumoh Geudong 1989-1998, di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie.

Adapun pemerintah melalui tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu (PP HAM) segera melakukan kick off atau memulai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial.

Kick off rencananya akan dilaksanakan di Rumoh Geudong Aceh, pada Selasa (27/6/2023).

Baca juga: Presiden Jokowi Dijadwalkan ke Rumoh Geudong Sigli pada 27 Juni 2023

Kegiatan tersebut akan dihadiri langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo.

Menjelang kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial, Rumoh Geudong tersebut diratakan.

Hal inipun mendapat tanggapan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang menjelaskan alasan Rumoh Geudong di Pidie, Aceh, diratakan jelang kick off.

Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam Rudolf Alberth mengatakan, narasi “pembongkaran” adalah keliru.

“Kami sudah melihat langsung di saat awal kami datang, itu hanya berupa tangga dan dua bidang tembok, dengan tinggi kurang lebih 1,60 meter dan ditumbuhi oleh hutan (semak) belukar dan pohon-pohon kelapa yang ada di sana,” kata Rudolf dalam keterangannya, dikutip pada Senin (26/6/2023).

Baca juga: Sekda Aceh dan Pj Bupati Pidie Tinjau Lokasi Kunker Presiden Jokowi di Rumoh Geudong

“Narasi bahwa kami membongkar bangunan tersebut adalah tidak benar,” bantah dia.

Rudolf mengatakan, pada 1998, Rumah Geudong dibongkar sendiri oleh masyarakat dengan maksud tidak mengenang lagi kejadian masa lalu.

“Sehingga yang sekarang tersisa adalah tembok-tembok yang ada di sana dan ada rangka yang tersisa.

Walaupun itu adalah rumah panggung, namun tangganya terbuat dari semen, jadi tidak rusak,” kata Rudolf.

“Dan juga di sana ada buah sumur, sumurnya masih ada air dan kami tidak menutup sumur itu,” ucap Rudolf lagi.

Rudolf menyebutkan, tangga rumah tersebut masih ada dan akan dijadikan simbol kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial.

Memberangus Rumoh Geudong, Mengubur Tragedi Kemanusiaan

“Ini sudah didesain oleh panitia sehingga tangga ini menjadi simbol, simbol akan terus bergerak naik meningkat ke level pemahaman dan penghormatan terhadap nilai dan prinsip hak asasi manusia,” kata Rudolf.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil menilai penghancuran situs sejarah pelanggaran HAM yaitu Rumah Geudong merendahkan martabat masyarakat Aceh.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari LSM Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (Paska) Aceh, Farida Haryani mengatakan, penghancuran tersebut menegaskan pemerintah bertelinga tebal terhadap suara-suara para korban.

Kisah Horor Rumoh Geudong, Penuh Jeritan & Lepotan Darah Manusia Tempat Bersejarah Sejak era Belanda

"Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat.

Suara mereka telah diabaikan dalam proses (penghancuran) ini," ujar Farida dalam keterangan tertulis dimuat dalam situs Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dikutip Senin (26/6/2023).

Padahal, kata Farida, Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial ini didukung oleh 19 kementerian/lembaga.

“Saya sebut contohnya saja, misal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan memberikan KIS (kartu Indonesia sehat) prioritas bisa berobat gratis di rumah sakit dan lain-lain,” kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023).

Mahfud menegaskan, penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial ini tidak akan meniadakan kasus pelanggaran HAM berat yudisial. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kemenko Polhukam Bantah Rumah Geudong di Aceh Dibongkar, tapi...

Update berita lainnya di TribunGayo.com dan Google News

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved