Seminar Didong
Seminar Didong: Syair Didong dalam Perspektif Islam, Hukumnya Mubah
Dalam Islam, kata TIR, terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan sya'ir, ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya & adapula yang mencela
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
Seminar Didong: Syair Didong dalam Perspektif Islam, Hukumnya Mubah
Laporan Fikar W Eda | Aceh Tengah
TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Bagaimana sya'ir didong menurut perspektif Islam?
Pertanyaan inilah yang coba dijawab secara gamblang dan lugas oleh Tgk Irwansyah Al-Waqi SPd I MPd yang populer dipanggil TIR saat menjadi narasumber Seminar Didong, di Lut Tawar Grand Ballroom, Parkside Hotel Takengon, Aceh Tengah, Sabtu (5/8/2023).
Dalam Islam, kata TIR, terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan sya'ir, ada teks yang menjelaskan tentang kebolehanya dan adapula yang mencelanya.
Adapun teks Hadits yang membolehkan bersya’ir adalah:
Baca juga: Ceh Didong Juga Pendakwah, Tengku Irwansyah Pimpin Prikogading
Artinya : Dari Amru Bin Al-Syarid dari ayahnya ia berkata, ”Suatu ketika aku bersama Rasulullah SAW, kemudian beliau berkata,” Apakah kamu mengetahui beberapa bait dari sya’ir karya Umayyah Bin Ash –Shalt?
“Aku menjawab ‘Iya beliau berkata ”Lanjutkan” kemudian aku melantunkan satu bait, beliau berkata”lanjutkan hingga aku melantunkan 100 bait (Sya’ir).
Dalam Riwayat lain Rasulullah SAW memuji sya’ir salah seorang sahabat yang bernama Labid Bin Rabi’ah Rasulullah SAW bersabda: yang artinya dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau berkata ”Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh Penya’ir adalah kalimat ”Labid.”
Baca juga: Pelestarian Didong Sebuah Tawaran, Museum Didong dan Gedung Didong
Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah, adalah bathil (Rusak Binasa)” dan hampir saja Umayyah Bin Abu Al-Shalt Memeluk Islam.”
Dalam hal lain Rasulullah SAW mengemukakan bahwasanya beliau bersabda.
“Dari Ubai Bin Ka’ab bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, Sesungghunya terdapat hikmah dianatara bait-bait sya’ir.”
Adapun salah satu hadits yang popular menerangkan ketidak bolehan sya’ir dan bersya’ir, kata TIR, adalah sebagai berikut:
Artinya”Dari Nabi Muhammad SAW Bersabda”Lambung-lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan Sya’ir”.
Baca juga: Seminar Didong Ditandai dengan Tepok Runcang oleh Pj Bupati
Sebenarnya hadits pelarangan atau ketidak bolehan bersya’ir diatas memiiki asbab al-wurud¸sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Riwayat Abu Said Al-Khudri beliau berkata:
“Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah SAW di Al-‘arajTiba-Tiba seorang penya’ir membacakan sya’ir kepada kami Rasulullah-Pun berkata” Tahan Syaitan itu, dan peganglah….Lalu beliau bersabda ”Lambung-lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan sya’ir”.
Ibnu Bathal berkata: sebagian ulama berpendapat bahwa sya’ir yang dimakud dalam hadits tersebut adalah hujatan-hujatan dan cacian terhadap Rasulullah SAW.
Baca juga: Ini Narasumber Seminar Didong, Ibnu Hajar Laut Tawar, Ceh M. Din, Muchlis Gayo hingga Tgk Irwansyah
Akan tetapi Abu Ubaid secara pribadi berdasarkan kesepakatan ulama menganggap bahwa penafsiran tentang ma’na sya’ir adalah: Penafsiran yang salah, sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu kalimat yang mengandung hujatan kepada Rasulullah SAW, maka akan menjadikan kufur.
Akan tetapi dikalangan sebahagian ulama melarang sya’ir dan bersya’ir secara mutlak, hal tersebut didasarkan perkataan Rasulullah SAW” Tahan Syaithan itu”dan Firman Allah: “Wassyu’ara’u yattabi’uhumul Ghawuuna”
Artinya”Dan penya’ir-penya’ir itu diikuti oleh Orang-orang yang sesat” (QS. Al-Syu’ara: 224).
Baca juga: Panitia Seminar Didong Gelar Pertemuan di Rumah Peradaban Gayoquine
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas mereka yang melarang sya’ir secara mutlak menganggap bahwa sya’ir dan bersya’ir merupakan pekerjaan syaithan yang sesat.
"Para ahli tafsir seperti Al-Thabary berpendapat bahwa para ahli sya’ir tersebut mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat menurut Ibnu Abbas adalah para pembuat sya’ir dari kalangan orang-orang kafir, dan yang lainya berpendapat yang dimaksud dengan dengan orang sesat adalah syaitan," kata TIR yang melakukan safarai sawah sampai daerah pelosok.
Ikrimah berkata bahwa suatu ketika terdapat dua ahli sya’ir yang saling mencaci maki satu sama lain dengan menggunakan sya’ir, maka Allah menurunkan ayat ini (QS.Al-Syu’ara’ :224).
Qatadah berpendapat bahwa para ahli sya’ir memuji seseorang dengan hal-hal yang bathil dan mencela dengan hal-hal yang bathil pula.
Imam Al-Qurthuby mengomentari Hadits Abu Said Al-Khudri dengan mengatakan bahwa para ulama berkata bahwasanya Rasulullah SAW mencela penya’ir tersebut, karena beliau telah mengetahui keadaan penya’ir tersebut.
Karena dia dikenal sebagai penya’ir yang menjadikan sya’ir-sya’irnya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga dia berlebihan dalam memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi.
Sehingga menyiksa manusia baik dari segi harta maupun kehormatan, oleh karena itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari.
TIR juga mengutip pendapat An-Nawawi: sya’ir itu hukumya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya.
Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan “Memenuhi pertunya degan sya’ir” adalah ketika telah menguasainya dimana dia lebih disibukkan dengannya daripada Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam yang lainya.
Maka hal tersebut menjadi sya’ir yang tercela apapun bentuknya.
Intinya apabila seseorang menjadikan Al-Qur’an dan ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat sya’ir dan melantunkannya selama sya’ir tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’at.
Sya’ir dalam Berdakwah
Dari Aisyah beliau berkata”Seseorang bertanya padanya”Apakah Rasulullah SAW Pernah melantunkan Sya’ir?,
Aisyah menjawa beliau pernah melantunkan Sya’ir Ibnu Rawahah dan beliau melantunkannya dan telah dating kepadamu berita tanpa tambahan (HR. Tirmidzi).
Penjelasan dari Aisyah menunjukkan bahwasaya Rasulullah SAW, hanya menyebutkan dan melantunkan potongan sya’ir karya Abdullah Bin Rawahah pada masa perang Khandak dengan tujuan agar lebih bersemangat, karena sesungguhnya sya’ir-sya’ir karya beliau sangat indah dan menggugah para syuhada.
Sebagai contoh: “Akan tampak kepadamu hari-hari dimana kebodohanmu dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka”.
"Dan banyak lagi riwayat-riwayat lainya yang menunjukkan bahwa beliau hanya menyebutkan sya’ir karya para sahabat-sahabat dengan cara memotongnya bukan dari sya’ir-sya’ir beliau karena pelarangan dari Allah SWT.
Hal ini bertujuan agar orang-orang kafir tidak menyebut Rasulullah SAW adalah ahli pencipta sya’ir dan penya’ir kaena Al-Qur’an adalah Mu’zizat dari Allah SWT untuk Baginda Rasulullah SAW yang tak terbantahkan oleh orang-orang kafir sejak dahulu sampai sekarang.
Berdasarkan pada analisis dari pendapat para ulama di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa hadits Rasulullah SAW, yang menyebutkan secara eksplisit larangan sya’ir dan bersya’ir bersifat temporal karena sya’ir yang terlarang adalah sya’ir yang mengandung cacian, celaan dan hinaan terhadap harkat, martabat manusia baik secara khusus maupun umum.
Sehingga hadits tentang larangan sya’ir dan bersya’ir hanya dapat dipahami dengan kaidah”Al-‘Ibratu Bikhusus As-Sabab la Bi ‘Umum Al-Lafadz” yang dijadikan sebagai patokan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafadz”, akan tetapi Rasulullah SAW sebagai orang Arab memiliki kecenderungan melantunkan Sya’ir dan mendengarkanya.
Dari uraian tersebut, TIR menyimpulkan, sya’ir, bersya’ir dan menjadi penya’ir itu hukumnya mubah (dibolehkan) dalam agama Islam, namun sya’ir-sya’ir yang disusun dengan tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah SWT.
Dengan tujuan untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan mereka atau membangkitkan semangat kaum muslimin dan melemahkan semangat orang-orang kafir dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
"Maka Sya’ir tersebut adalah sya’ir yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalm Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli sya’ir dari kalangan shabat seperti Hasan, Labid, Abdullah Bin Rawahah serta para sahabat yang lainnya.
Selain itu, larangan mutlak untuk menyusun sya’ir dan melantunkannya hanya untuk mencela,menghina dan mencaci maki Rasulullah SAW, dan umatnya," ujar TIR. (*)
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.