Kisah Inspiratif
Kisah Pak Munir Aman Mul Asal Bener Meriah, Bermula dari "Tukang Doran"
Sebuah masjid berdiri megah di sisi kiri Jalan KKA, Km 42. Lokasi ini bernama Dusun Buntul Sara Ine, Kampung Seni Antara, Bener Meriah.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Rizwan
Laporan Fikar W.Eda I Bener Meriah
TRIBUNGAYO.COM, REDELONG - Sebuah masjid berdiri megah di sisi kiri Jalan KKA, Km 42. Lokasi ini bernama Dusun Buntul Sara Ine, Kampung Seni Antara, Bener Meriah.
Sesekali para pengguna jalan singgah, shalat, berteduh saat hujan deras. Tapi pada saat lain, sepi seolah tanpa penghuni.
Di tempat itulah Desember Kopi Gayo 2023 digelar 9-16 Desember 2023.
Dihadiri sejumlah seniman dari berbagai daerah.
Buntul Sara Ine, artinya bukit satu ibu. Ini karena bukit dan hamparan di sana dimiliki oleh saudara satu ibu atau satu keluarga.
Dulu, dusun ini sangat ramai. Terdapat 40 Kepala Keluarga menetap di sana.
Sekolah Dasar juga dibangun. Gurunya didatangkan dari Takengon. Untuk bidang kesehatan, seorang bidan ditempatkan di sana.
Buntul Sara Ine ketika itu menjelma menjadi "kota kecil," sebagai pemukiman terkahir di Bener Meriah yang berbatasan langsung dengan Aceh Utara.
Perkebunan kopi arabica juga mulai berproduksi dengan baik. Buahnya bagus, tanahnya subur. Dalam usia tiga tahun, sudah panen. Kehidupan menggeliat hangat. Jalinan sosial erat dan padu.
Mereka adalah komunitas di garis depan Bener Meriah.
Baca juga: Kisah Marsono Guru Wilayah Terpencil di Bener Meriah Raih Penghargaan GTK Tingkat Nasional 2023
Buntul Sara Ine berbatasan langsung dengan Aceh Utara, kawasan Gunung Salak. Kopi Buntul Sara Ine makin populer. Masyarakat makin ramai melirik kawasan ini.
Namun masa depan cerah kehidupan di Buntul Sara tiba-tiba harus padam, sebagai ekses dari konflik keamanan di Aceh pada 1998-2000. Situasi makin genting dan berbahaya.
Penduduk lebih memilih pergi. Buntul Sara Ine benar-benar kosong. Hanya tiga satu dua rumah dan sebuah mushalla. Selebihnya hangus jadi abu. Konflik memakan korban begitu menyengsarakan.
"Saya kemudian berangkat ke Medan, dengan dua mobil. Selama sepuluh tahun saya di Medan. Saya ingat betul, kami berangkat melalui Jalan Belangkejeren, Kotacane dan Medan," kenang Pak Munir Aman Mul (84 tahun).
Dia pula yang menyarankan kepada saudara-saudaranya yang lain untuk segera pergi dari kampung itu. Pak Munir Aman Mul sangat kuatir dengan konflik seperti itu. Sebab ia masih ingat persitiwa DI/TII tahun 1953.
Situasinya kurang lebih sama. penduduk berada di tengah impitan dua pihak yang berperang.
Pak Munir Aman Mul baru kembali lagi setelah situasi benar-benar aman, pada 2016.
Aman Mul sangat kaget mendapati keadaan Buntul Sara Ine buruk.
Kebun yang mereka rawat dan tanam, berubah jadi belukar. Rumah tak ada. Sekolah tak ada.
Beberapa areal tanah sudah dijual murah ke pihak lain.
Baca juga: Kisah Pilu! Tak Miliki Biaya, Seorang IRT Terpaksa Lahiran di Jalan saat Hendak Ditandu Puskesmas
Pak Munir Aman Mul mencoba bangkit. Ia mulai menata kembali kehidupan di sana. Kebun miliknya diperbaiki dan direhabilitasi. Rumah yang ambruk dietulkan lagi.
Sebuah masjid juga ia dirikan. Tanah seluas tiga hektar diserahkan untuk kepentingan pesantren yang sudah mulai menerima santri. Namanya Pesantren Pegayon Boarding School.
Dikelola oleh seorang anak muda, Azzam Pegayon, seniman dan seorang mantan santri.
Azzam adalah keponakan Pak Munir Aman Mul yang lahir dan besar di Jakarta. Mereka keluarga sangat dekat.
Pak Munir Aman Mul sejak 2016 sudah mengajak Azzam "kembali" ke Gayo mengelola Pesantren tersebut.
Tapi baru 2021 bisa aktif dan menumpahkan perhatian. Azzam memboyong anak dan istrinya ke Buntul Sara Ine. Membangun kehidupan pesantren.
Masyarakat sekitar ikut mendukung. Geliat kehidupan mulai berdenyut kembali.
Pak Munir Aman Mul juga lebih memilih tinggal di Buntul Sara Ine dari pada di Kota Takengon.
"Di sini saya lebih tenang. Tidak lagi memikirkan bisnis. Saya di sini jadi sangat tenang," kata Pak Munir Aman Mul.
Baca juga: Kisah Suprianda ART yang Tewas Diterkam Harimau Majikan, Segini Gajinya yang Diterima Tiap Bulan
Ia lalu menceritakan asal muasal berdirinya kampung itu. Dikisahkan, Buntul Sara Ine pertama kali dibuka sebagai kawasan perkebunan dan pemukiman pada 1988. Waktu itu masih hutan belantara.
Dalam bahasa Gayo disebut "murukah." Setelah mendapatkan tanah yang luasnya selebar bentangan kedua lengan, Pak Munir Aman Mul bersama enam saudaranya mulai menggarap areal tersebut sampaib berproduksi tiga tahun kemudian.
"Kami mendeteksi dimana letak air, kami membagi lokasi dan mulai melakukan pembersihan lahan, sampai penanaman kopi dan akhirnya berproduksi," ujar Pak Munir.
Kawasan ini menjadi makin "bersinar" saat PT KKA membuka jalan untuk mengangkut kayu pinus dari Tanah Gayo ke pabrik KKA di Jamuan Aceh Utara.
Jalan tersebut persis melintasi kebun milik Pak Munir Aman Mul bersaudara.
"Jalan KKA dibangun tiga tahun setelah kami membuka kebun," katanya.
Aman Mul adalah seorang futuristik. Ia membangun pemukiman Buntul Sara Ine untuk memperkuat komunitas keluarga sehingga bisa menetap di satu wilayah.
Ia telah memperhitungkan, bahwa tanah yang ada di sana, cukup untuk anak dan cucu.
"Tapi karena konflik mendera, apa yang telah kami bangun hilang seketika," ujar Pak Munir Aman Mul.
Lantas siapa Pak Munir Aman Mul? Ia terkenal sebagai pengusaha sukses. Ia pemilik usaha Indah Rupawan.
Baca juga: Kisah Bripka Candra di Bener Meriah, Polisi yang Keseharian Merawat ODGJ tanpa Pamrih
Awalnya ia adalah seorang nelayan penangkap ikan di Danau Lut Tawar.
Dalam bahasa Gayo disebut "tukang doran." Hasil tangkapan dijual ke pasar ikan Takengon.
Karena Ekonomi masa itu sangat sulit, hasil "mendoran" tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Aman Mul dan istri kemudian membuat kios kecil di depan rumahnya di Pasar Pagi Takengon.
Istrinya yang mahir memasak mulai menjual gorengan. Lalu muncul ide menambah barang dagangan berupa barang pecah belah dan plastik. Hasil menangkap ikan dijadikan modal. Berangkat beli bahan dagangan ke Medan.
Belakangan muncul ide lagi, menjual lemari kayu yang dibawa dari Medan. Mula-mula dibawa satu unit.
"Eh ternyata, lemari langsung laku. Saya beli lagi ke Medan, juga cepat lalu," ujar Pak Aman Mul.
Usaha menjual perabot ini terus berkembang. Masa itu, kalau masyarakat mau menempa lemari kayu harus menunggu sampai tiga bulan.
"Karena itu, saat kita tawarkan lemari yang sudah jadi, langsung diminati," katanya.
Waktu itu belum ada orang lain yang menjual perabot. Aman Mul satu-satunya penjual perabot di Takengon.
Usaha ini terus berkembang. Sampai Aman Mul bisa mencicil sebuah ruko di kawasan terminal lama.
"Usaha perabot ini tumbuh cepat dengan hadirnya beberapa toko perabot. Termasuk Toko Takari dan lain-lain. Saya harus putar otak guna mengembangkan usaha, mengingat pesaing makin ramai," ujar Aman Mul.
Muncul ide cemerlang. Pak Munir Aman Mul lalu membeli mobil Datsun seharga Rp 3,5 juta. Mobil itu ia gunakan untuk mengantar prabot sampai ke rumah pembeli. "Itu bagian dari servis. Ternyata memang unggul," kenangnya.
Maka Aman Mul adalah pelopor penjual perabot dengan servis mengantar sampai pintu rumah.
Kini Pak Munir sudah memiliki banyak aset, berupa tanah, ruko, kebun dan sebagainya. Sejak beberapa tahun terakhir, ia konsentrasi di Buntul Sara Ine. Hidup berdampingan dengan masjid yang ia bangun.
Ia berharap, kelak ada generasi muda Gayo dari tempat itu lahir sebagai sosok yang cemerlang, berguna untuk agama, bangsa dan umat manusia.(*)
Baca juga: Kisah Pilu, Pelukan Terakhir Mahasiswi Unair ke Adiknya sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Mobil
Dibalik Suasana Pagi Pasar Paya Ilang Takengon Tersimpan Tekad Kuat, Salati: Demi Anak-anak |
![]() |
---|
Sosok Khalimah, Seorang Ibu dan Guru Inspiratif di Bener Meriah |
![]() |
---|
Kisah Fadli di Aceh Tengah, Petani Kopi Gayo Raih Gelar Doktor dengan Nilai Cumlaude |
![]() |
---|
Sosok Mohammad Amin Usman, Putra Aceh Bangun Bengkel Pesawat Terbang |
![]() |
---|
Kisah Pemuda Cabe Asal Kalimantan Selatan, Berjualan Aksesoris hingga Blangkejeren Gayo Lues |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.