Fuad Mardhatillah: Sastra Aceh Tenggelam Dibangkitkan Orang Dataran Tinggi

Ia menambahkan bahwa justru orang-orang dari dataran tinggi yang berhasil membangkitkan kembali sastra aceh.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
FOTO IST
Fuad Madhatillah dan Salman Yoga. 

Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh

TRIBUNGAYO.COM. BANDA ACEH - Summit Launching (puncak peluncuran) buku terbaru terbitan Komunitas dan Penerbit The Gayo Institute (TGI) yang bertajuk “Antologi Puisi -Introspeksi Memandang Aceh dari Satu Kacamata-” berlangsung meriah pada Sabtu (17/8/2024),  di Indoor Taman Seni dan Budaya Banda Aceh.

Dr Fuad Mardatillah UY Tiba MA, yang tampil sebagai pembedah dan pembicara utama, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sastra Aceh yang menurutnya, telah tenggelam dari perhatian publik belakangan ini.

Ia menambahkan bahwa justru orang-orang dari dataran tinggi yang berhasil membangkitkan kembali sastra aceh.

"Sastra aceh secara komunal telah tenggelam beberapa waktu belakangan ini, tidak ada indikasi atau peluang untuk maju dan bangkit, hanya seni tradisi yang terus hidup. 

Itu pun di wilayah luar Banda Aceh, seperti dataran tinggi, sebagian kecil pantai barat dan selatan saja. Untung ada orang dari dataran tinggi yang terus berkarya dan bangkit," ujar intelektual Aceh yang akrab disapa Bang Fuad ini, seraya menyitir kalimat "orang-orang berselimut di daerah sejuk dan dingin terus berkarya, sementara yang lain tak tampak kontribusinya."

Bang Fuad juga menyoroti rendahnya minat baca masyarakat Aceh, yang menurutnya tidak dibudayakan sejak usia dini, serta kondisi yang lebih memprihatinkan di ruang-ruang media sosial.

Tradisi ilmiah pun, lanjutnya, tidak hidup, meskipun ia sering melempar wacana-wacana dialektika, namun tidak ada yang menanggapinya secara kritis.

“Dialektika seni dan budaya tetap harus dipertahankan sebagai warisan kearifan, seperti terbitnya buku ini,” tambah mantan Direktur ACI ini, yang kemudian menutup dengan pembacaan puisinya yang juga termuat dalam buku tersebut.

Sementara itu, kurator dan penyunting buku “Antologi Puisi -Introspeksi Memandang Aceh dari Satu Kacamata-”, Dr Salman Yoga S, menyatakan bahwa ruang-ruang sastra yang terseleksi dan bermutu semakin terjepit.

“Ruang-ruang sastra kita yang terseleksi dan bermutu kian terjepit pasca rontoknya rubrik-rubrik sastra dari sejumlah media cetak yang selama ini menjadi saluran utama bagi para penulis.

Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah Aceh yang abai terhadap hal tersebut.

Terbukti dalam even budaya lima tahunan seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), ruang bagi pelaku sastra tertutup rapat, bahkan ada kesan sengaja ditiadakan.

Padahal dalam sejarahnya, eksistensi negeri ini masyhur dan disegani karena nilai dan karakter kebudayaannya,” jelas Salman yang juga dikenal sebagai penerjemah karya sastra asing ke dalam bahasa daerah.

Salman juga mengakui bahwa sastra Aceh secara komunal tenggelam, baik di ruang publik, dialektika, maupun program instansi terkait.

Halaman
12
Sumber: TribunGayo
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved