Berita Aceh Tengah

Antropolog Unimal, Wacana ALA Muncul sebagai Respons Ketimpangan, Bukan Sekadar Ambisi Politik

Wacana pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) kembali mencuat setelah sempat meredup.

Penulis: Alga Mahate Ara | Editor: Rizwan
Istimewa
WACANA ALA - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya MHum. Dosen Unimal ikut memberikan komenter terkait wacana Provinsi ALA. 

Laporan Alga Mahate Ara | Aceh Tengah

TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON – Wacana pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) kembali mencuat setelah sempat meredup.

Rencana pemekaran ini mencakup enam kabupaten, yaitu Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Dukungan terhadap pembentukan provinsi baru ini menguat setelah beberapa tokoh dan masyarakat menyuarakan harapan agar pemekaran segera diwujudkan lewat pertemuan Komite Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) beberapa waktu lalu.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya MHum menilai bahwa gagasan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) tidak semata-mata lahir dari ambisi politik daerah.

"Melainkan sebagai respons terhadap ketimpangan pembangunan dan rasa keterpinggiran yang dirasakan masyarakat di luar wilayah pesisir Aceh," ujarnya.

Dalam wawancara melalui saluran Whatsapp pada Jumat (18/4/2025), Teuku Kemal secara kritis mengungkap bahwa sejak awal wacana ALA mencuat pada tahun 1998.

Terdapat indikasi bahwa ide ini juga tidak lepas dari strategi politik yang lebih besar. 

"Sejak awal, pembentukan ALA saya lihat sebagai strategi kontra intelijen yang dilakukan pemerintah untuk mengorganisir konflik. Ini menjadi cara untuk mengkerdilkan daya tahan dan resiliensi Aceh dengan memecah wilayahnya,” ujarnya.

Meski ide ALA berangkat dari kepentingan politik, Kemal menegaskan bahwa dalam praktiknya masyarakat menilai memang terjadi ketimpangan nyata.

Antropolog Unimal itu menyebutkan, afirmasi pembangunan masih terlalu terpusat di kawasan pesisir dan wilayah berpenduduk mayoritas etnis Aceh, sementara wilayah tengah dan barat daya kerap terabaikan.

“Ketika ide ALA dan ABAS muncul, itu isyarat adanya suara yang menjerit karena merasa tidak puas. Mengapa proyek-proyek pembangunan nasional justru lebih banyak diarahkan ke wilayah pesisir, timur, atau daerah-daerah dengan dominasi etnis Aceh?” lanjutnya.

Menurutnya, Gubernur Aceh seharusnya lebih sensitif terhadap realitas sosial-budaya yang ada.

Wilayah seperti Gayo-Alas yang dihuni oleh etnis non-Aceh, meskipun memiliki populasi lebih kecil, tetap memiliki hak yang setara dalam hal pembangunan dan perhatian pemerintah. 

“Pembangunan seharusnya proporsional, mencerminkan keberagaman budaya di Aceh. Kalau ini diabaikan, wajar saja jika muncul dorongan untuk memisahkan diri lewat wacana ALA dan ABAS. Karena selalu ada ‘bensin’ yang bisa dimainkan politisi untuk memantik isu ketertinggalan dan inferioritas,” tegasnya.

Halaman
12
Sumber: TribunGayo
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved