Kupi Senye

Eksistensi Bahasa Aceh Semakin Tergerus di Negerinya Sendiri

Bahasa Aceh, sebagai warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan moral, kini menghadapi ancaman serius terhadap eksistensinya.

ISTIMEWA
OPINI TRIBUNGAYO - Vivi Ratna Putri adalah Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia (MPBI) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Ia menulis opini berjudul "Eksistensi Bahasa Aceh Semakin Tergerus di Negerinya Sendiri", Jumat (23/5/2025). 

Oleh: Vivi Ratna Putri *)

Bahasa Aceh, sebagai warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan moral, kini menghadapi ancaman serius terhadap eksistensinya.

Penggunaannya mulai melemah di dalam masyarakat. Tak dapat dipungkiri, banyak orang berlagak cuek akan hal ini. 

Bahasa Aceh saat ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan terancam punah.

Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iskandar Syahputera, bahasa Aceh dikategorikan sebagai "definitely endangered" atau terancam punah secara pasti oleh UNESCO, dengan tingkat vitalitas berada pada level 3 dari skala 5–0. 

Melihat pernyataan tersebut membuktikan bahwa sebuah bahasa pasti akan punah apabila penuturnya tidak lagi menggunakan bahasa tersebut.

Keprihatinan ini dapat diatasi apabila bahasa Aceh kembali eksis dan aktif digunakan seluruh penduduknya di samping bahasa nasional.

Dalam wawancara dengan beberapa mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia (MPBI) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Terungkap bahwa penggunaan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari semakin menurun, terutama di kalangan generasi muda. 

Salah satu mahasiswa menyatakan, "Di lingkungan keluarga saya, bahasa Aceh jarang digunakan.

Kami lebih sering berkomunikasi dalam bahasa Indonesia karena dianggap lebih praktis dan umum".

Pernyataan ini mencerminkan fenomena yang lebih luas, di mana dominasi bahasa Indonesia dalam pendidikan dan media massa menyebabkan bahasa Aceh kurang digunakan dalam interaksi sehari-hari.

Mayoritas responden mengakui lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, terutama di lingkungan akademik dan profesional.

Alasan utamanya karena bahasa Indonesia dianggap lebih universal dan formal, serta karena kurangnya kemampuan berbahasa Aceh secara aktif. 

Para responden mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap potensi kepunahan bahasa Aceh.

Diantaranya kurangnya penggunaan bahasa Aceh di lingkungan formal, penggunaan bahasa Aceh yang jarang digunakan di media massa dan rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Aceh.

Tanggung jawab mempertahankan bahasa Aceh agar tetap lestari bukan semata-mata dibebankan kepada anak muda saja.

Lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas budaya juga dapat berperan.

Pemerintah daerah bisa berkolaborasi dengan content creator lokal untuk mengeksiskan kembali bahasa Aceh.

Pemerintah juga bisa menggunakan tiga bahasa (Aceh, Indonesia dan Inggris) pada papan pemberitahuan umum yang ada di ruang publik daerah Aceh dan mengintegrasikan bahasa Aceh dalam kurikulum pendidikan.

Kita sebagai masyarakat juga dapat mendukung agar bahasa Aceh ini terus bertahan.

Seperti mendorong keluarga untuk menggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari dan penggunaan bahasa Aceh dalam media sosial dan media massa. 

Jika sampai masyarakat gengsi dan malu menggunakan bahasa Aceh, sudah pasti bahasa daerah satu ini akan punah segera.

Sebelum terlambat—sekali lagi— gunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari, terutama di lingkup keluarga dan teman.

Jangan sungkan melestarikan bahasa kita, jangan malu berbahasa Aceh, jika memang tidak mau bahasa daerah kita ini hilang untuk selama-lamanya.

Layaknya semboyan "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah dan Kuasai Bahasa Asing" yang merupakan ajakan strategis dari pemerintah Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara identitas nasional, kekayaan budaya lokal, dan keterbukaan terhadap dunia global. 

Bahasa daerah mencerminkan kekayaan budaya dan identitas lokal yang unik.

Melestarikan bahasa daerah berarti menjaga warisan leluhur, nilai-nilai kearifan lokal, dan memperkaya budaya nasional.

Upaya pelestarian ini penting untuk mencegah kepunahan bahasa-bahasa daerah yang terancam.

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia (MPBI) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

KUPI SENYE adalah rubrik opini pembaca TribunGayo.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Sumber: TribunGayo
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved