Berita Nasional

Didong dalam Trans Jakarta: Pertunjukan Didong Jalu Pertama di Ibukota

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Jafaruddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Difasilitasi Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, diselenggarakan Didong Jalu antara Teruna Jaya dengan Kemara Bujang di Gedung MPR RI pada 2013. Nama acaranya Didong Senayan. Itulah pertama sekali didong semalam suntuk di gedung wakil rakyat. 

Laporan Fikar W.Eda I Jakarta

TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA ----Pertunjukan didong jalu dilakukan dalam bus Trans Jakarta, Minggu, 3 Juni 2012, pukul 14.00 WIB.

Bus melaju dari stasiun PGC Cililitan menuju halte Grogol, pulang pergi. dua grup yang berdidong tanding dalam bus Trans Jakarta klop Singkite dari Ciputat dengan Bintang Duta dari Cibubur.

Itulah satu-satunya pertunjukan didong dalam Transjakarta, sejak perusahaan angkutan umum milik Pemerintah DKI Jakarta  itu beroperasi.

Pertunjukan itu sebagai bagian tugas akhir dari mahasiswa angkatan III Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2010-2012, FIkar W.Eda. Pembimbing  Prof Sardono W Kusumo, dan Arthur S Nalan.

Penguji  terdiri dari Hadi Artomo, M.Sn, Merwan Yusuf, DEA, dan DR. Iwan Gunawan. Seperti apa  persiapan dan jalannya pertunjukan? Berikut laporannya.

"RIWAYAT  DI JAKARTA" 

Untuk pertama kali, pertunjukan seni didong jalu atau didong tanding yang berlangsung satu malam suntuk diselenggarakan di Jakarta  pada tanggal 3-4 April 1961 di Gedung Pemuda Jakarta antara grup didong Bujang Renggali dan grup Renah Rembune oleh Lembaga Kebudayaan gayo Alas atau LKGA.

Bujang Renggali terdiri dari mahasiswa dan pemuda Gayo yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta  yaitu Sukarna Bantacut, Mursaluddin, Ali Asirasir, Syamsuddin, M Ali, Abd Rahman Saat, Daud Ali, Saleh Hasan, Dawam Karim.

Baca juga: Tiga Polisi Terjaring Operasi Tangkap Tangan Kasus Narkoba

Grup Renah Rembune adalah pemuda dan mahasiswa Gayo yang bermukim di Jakarta, terdiri dari M Junus Melalatoa, Hanafiah, Ali Husin, Abdul Wahab Rahmatsyah, Djalaluddin, Abdul Muin, Abbas Ismail Djahra, Semaun, dan Abdul Kadir.

Pertunjukan didong dan seni Gayo lainnya pertama kali disiarkan  TVRI pada 9 Maret 1970 dan selanjutnya diselenggarakan pertunjukan didong jalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 27 Maret 1970.

Inilah pertunjukan didong pertama yang penyairnya (ceh) didatangkan langsung dari Gayo.  

Sejak itu, pertunjukan didong diselenggarakan hampir tiap tahun dan berlangsung sampai sekarang.

Bahkan untuk tahun 2011 terjadi dua kali pertunjukan didong, yakni pada 29 Januari 2011 antara grup Kemara Bujang dengan Laut Tawar Jaya di anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah dan pada 16 Oktober 2011 antara grup  Lakiki dengan Kuala Laut di Museum Prajurit Taman Mini Indonesia Indah. 

Jauh sebelumnya, pada 21 Oktober 1978, didong jalu antara  Timang Rasa dengan Pesisir Laut di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, pada 17 Mei Tahun 2000, Kabinet Bebesen vs Kuala Laut.

Tempat Pasar Seni Ancol, Jakarta. Selanjutnya  7  Juni 2008 grup Kabupaten Bener Meriah bertanding dengan grup  Aceh Tengah di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah.

Baca juga: Ibukota Heboh, Pertunjukan Didong Jalu dalam Trans Jakarta

Tahun berikutnya, 17 Oktober 2009, Bener Meriah vs Aceh Tengah di Galeri Nasional Jakarta dan lain-lain.

Satu dari banyak ragam seni Gayo yang paling menonjol dan populer dalam masyarakat Gayo adalah didong.

Kesenian didong oleh M.Junus Melalatoa (1982:140) dinyatakan sebagai kesenian yang memadukan seni sastra (puisi), seni vokal, dan seni tari.

Seniman didong melalui puisinya banyak memberikan penerangan kepada masyarakat tentang sejarah daerahnya dan nasional, tentang revolusi fisik, tentang Pancasila dan lain-lain.

Didong meski secara harfiah belum begitu jelas artinya, namun Junus Melalatoa  menduga  ada kaitannya dengan pengertian beberapa kosa kata Gayo  seperti denang atau donang yang maknanya sama dengan ”dendang” dalam bahasa Indonesia.

Artinya, puisi-puisi didong dibawakan dengan cara mendendangkannya dalam suatu pertunjukan didong.

Penyair didong, Sali Gobal dalam salah satu syairnya berjudul ”Didong” (dalam M Junus Melalatoa 2001: 9) menyatakan didong adalah seni ni urang Gayo, atau seninya orang Gayo.

Baca juga: Dandim Bersama Kajari dan Mahkamah Syariah Gayo Lues Bawa Kado Spesial ke Mapolres di Blangsere

Pertunjukan didong berlangsung semalam suntuk, mempertandingkan dua grup (klop). Masing-masing grup terdiri dari pria dewasa berjumlah 20 sampai 30 orang.

Tiap grup terdapat tiga pasang ceh, yaitu figur yang tampil sebagai pendendang  puisi, dan pengarang puisi.  Para ceh ini memiliki suara merdu atau ling temas.

Pasangan ceh pertama disebut ceh utama selanjutnya pasangan berikut disebut ceh due dan ceh tige.

Masing-masing ceh berusaha menjatuhkan grup lawan dengan cara membuat puisi yang berisi sindiran, atau puisi yang menjawab teka teki.

M Junus Melalatoa menyebut ceh itu sebagai aktor utama dalam pertunjukan didong, karena dialah yang mengendalikan pertunjukan dengan menciptakan gerak dan variasi bunyi tertentu untuk memberi semangat kepada grup.

Puisi-puisi didong didendangkan dengan iringan tepuk tangan atau tepukan kanvas kecil seukuran telapak tangan  oleh para pendukung didong dalam satu pentas pertunjukan.

Didong dipertunjukan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Seperti pesta perkawinan, selepas panen atau perayaan hari-hari penting, perayaan hari kemerdekaan dan sebagainya.

Baca juga: Didong Jalu dalam Trans Jakarta: Kedatangan Urbanis Gayo di Ibukota Negara

Tapi ada juga dipentaskan untuk maksud-maksud khusus, mengumpulkan bantuan pembangunan masjid, rumah sekolah, jembatan dan pembangunan fasilitas umum lainnya.

Drs Thantawy. R,  dalam “Kesenian Gayo dan Perkembangannya” (PN. Balai Pustaka, 1980: 52) memilah  didong dalam empat periode. Pada awalnya didong berfungsi sebagai hiburan semata.

Hawa tanah Gayo yang dingin berada pada ketinggian rata-rata 1500 meter di atas permukaan laut, dan terbatasnya jalur transportasi, mengakibatkan daerah itu seolah terpelanting.

Boleh jadi, satu-satunya cara orang Gayo menghibur diri adalah dengan berdidong sambil menghangat tubuh pada perapian.

Pada periode awal ini didong belum menjadi medium sindir-menyindir, melainkan hanya menjawab teka-teki, atau disebut juga didong ber-akal-akalen, atau didong teka-teki.

Periode ini berakhir pada permulaan penjajahan Jepang pada 1904 di tanah Gayo.

Masih menurut Thantawy. R, sindir-menyindir baru muncul dalam didong pada periode kedua. 

Baca juga: Pasca Gempa di Yogyakarta, Ada 44 Gempa Bumi Susulan Terjadi hingga Hari Ini

Hal ini menurutnya disebabkan adanya kesadaran persatuan, berbangsa dan bernegara mengurangi pertentangan atau konflik antar belah atau klan.

Rasa permusuhan antar-belah itu disalurkan dalam seni didong.

Mulai timbul sindir-menyindir atau tep-onem, yaitu menjatuhkan lawan dengan puisi.

Periode ketiga, seni didong mulai menjadi penggerak masyarakat. Tema didong sudah  menyentuh masalah-masalah hidup yang ril.

Seni didong telah menjadi motivasi pembangunan dan dipertandingkan untuk mencari dana pembangunan.

Periode keempat didong berfungsi sebagai media masyarakat, menjadi media komunikasi antara rakyat dengan pemerintah. Seni didong menjadi alat kritik masyarakat.

Pertunjukan didong menggunakan panggung berbentuk arena. Sehingga penonton bisa menyaksikan kesenian itu dari semua sisi.

Panggung pertunjukan didong dibangun temporer pada tempat-tempat tertentu di ruang terbuka, seperti halaman sekolah, lapangan sepak bola, dan sebagainya.

Penonton perempuan biasanya terpisah dari penonton laki-laki.

Baca juga: Perang Gayo - Alas Lawan Belanda: Pertempuran Tenge Besi dan Enang-Enang tak Dilaporkan 

Para pemain didong yang terdiri dari dua grup (kelop) dalam suatu pertunjukan didong, duduk bersila dalam lingkaran yang terpisah.

Mereka menepuk tangan atau kanvas kecil secara serempak dan teratur disertai variasi gerak-gerak tubuh secara serentak pula.

Tepukan tangan berfungsi sebagai ritme mengiringi puisi-puisi didong yang didendangkan oleh para ceh.

Salah seorang ceh didong¸Ibrahim Kadir, dalam satu wawancara dengan saya di Takengon, Aceh Tengah, pada Mei 2011, menjelaskan bahwa para pemain didong tampil dengan pakaian kemeja putih, mengenakan kopiah hitam, dan sarung samarena.

Sedangkan untuk ceh, dilengkapi dengan tambahan aksesoris berupa syal dengan warna mencolok  melilit di leher.

Pada pertunjukan didong terdapat beberapa bagian yaitu sare, persalaman, kisah, tep onem, dan diakhiri dengan didong morom atau didong saling bermaafan antara kedua grup didong di penghujung pertandingan.

Sare, adalah atraksi variasi bunyi yang dibawakan secara koor sehingga mampu menghangatkan suasana dan diteruskan dengan puisi pendek.

Persalaman, adalah lirik yang mengandung sapaan kepada penonton, tamu undangan dan lawan tanding.

Baca juga: Bank Indonesia Siap Tambah Fitur Baru dalam Layanan QRIS, Bisa Tarik hingga Setor Tunai

Bagian lain adalah kisah, yaitu puisi yang berisi tentang cerita  perjalanan hidup dengan segala duka-citanya, termasuk ke dalamnya adalah kerinduan terhadap kampung halaman, atau kisah-kisah tertentu tentang adat, lingkungan dan sebagainya.

Puisi yang mengisahkan  tentang kampung halaman acap didendangkan oleh grup didong yang diundang bertanding di luar daerah Gayo, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan lain-lain.

Ada lagi yang disebut tep onem yaitu lirik yang mengandung sindiran “halus dan tajam” kepada lawan tanding.

Lirik-lirik sindiran dan serangan ini biasanya diperdengarkan pada tengah malam atau dini hari. (Melalatoa, 2001).

Didong morom atau didong bersimaapen memuat tentang permohonan maaf kepada lawan tanding, karena selama semalaman saling “menyerang dengan puisi” yang mungkin saja menyinggung perasaan. (*)

Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews