Laporan Fikar W.Eda/Jakarta
TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA -- Pertunjukan didong jalu dilakukan dalam bus Trans Jakarta, Minggu, 3 Juni 2012, pukul 14.00 WIB. Bus melaju dari stasiun PGC Cililitan menuju halte Grogol, pulang pergi.
Dua grup yang berdidong tanding dalam bus Trans Jakarta klop Singkite dari Ciputat dengan Bintang Duta dari Cibubur.
Itulah satu-satunya pertunjukan didong dalam Transjakarta, sejak perusahaan angkutan umum milik Pemerintah DKI Jakarta itu beroperasi.
Pertunjukan itu sebagai bagian tugas akhir dari mahasiswa angkatan III Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2010-2012, FIkar W.Eda.
Pembimbing Prof Sardono W Kusumo, dan Arthur S Nalan. Penguji terdiri dari Hadi Artomo, M.Sn, Merwan Yusuf, DEA, dan DR. Iwan Gunawan. Seperti apa persiapan dan jalannya pertunjukan? Saya menceritakannya untuk Anda.
"OBSERVASI"
Lantas bagaimana caranya berdidong dalam “perut” busway? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajak Kabri Wali, naik bus Trans Jakarta koridor 9, 10 rute Cililitan- Grogol, Jumat (9/3/2012) selepas shalat Jumat.
Tiba di stasiun keberangkatan di Pusat Grosir Cililitan (PGC), pengguna jasa busway itu belum begitu ramai.
Baca juga: Pj Bupati Aceh Tengah Serahkan Sembako untuk Keluarga Anak Stunting di Timangan Gading
Petugas tiket menjelaskan, penumpang padat pada jam-jam tertentu, seperti jam masuk kantor pada pagi hari dan jam pulang kantor sore hari.
Sementara kami berdua tiba di PGC pukul 14.00 WIB.
Saya membeli dua tiket. Harga per tiket Rp 3.500. Kepada Kabri Wali saya jelaskan, pertimbangan mengambil titik start dari PGC lebih efektif dan efisien.
Pertimbangan lain, karena penumpang yang menggunakan jalur tersebut terkesan lebih beragam, terutama dari ragam pekerjaan, dibanding umpamanya busway jurusan Blok M – Kota.
Besar dugaan, penumpang Blok M-Kota besar bekerja pada kantor-kantor sepanjang Sudirman, Thamrin, Hayam Wuruk. Soal ini memang baru dugaan saya saja.
Bukan berdasarkan riset.
Kabri Wali mengernyitkan dahi saat mendengar alasan saya soal efektivitas dan efisiensi tadi.
Saya katakan, PGC lebih efektif karena gedung tersebut memiliki areal parkir yang luas terdiri dari tujuh lantai.
Baca juga: Putra Aceh Kombes Anissullah Raih Penghargaan Bintang Bhayangkara Nararya dari Presiden Jokowi
Seluruh pengisi acara, termasuk pembimbing dan dosen penguji tidak terlalu sulit mencari tempat parkir.
Sebab antara lokasi parkir dan stasiun keberangkatan terletak dalam satu gedung.
Efisien, karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai PGC juga tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Awalnya direncanakan bus yang digunakan jalur Cililitan-Ancol. Kedengarannya lebih elok, karena Ancol adalah tempat wisata.
“Kenapa tidak jadi?” tanya Kabri Wali yang siang itu mengenakan kaos oblong putih.
“Bus ke Ancol tidak semuanya memiliki dua gerbong.
Sementara untuk pertunjukan ini kita butuh bus dua gerbong.
Memang ada yang dua gerbong, tapi pulangnya dari Ancol ke Cililitan harus transit di terminal Kampung Melayu. Ini menyulitkan kita,” kata saya.
Baca juga: Dito Ariotedjo Menpora Siap Penuhi Panggilan Kejaksaan Agung, Berikut Kasusnya
Sebelum mengajak Kabri, saya sudah terlebih dahulu melakukan survei dengan seorang teman, Iyas T Brow, anak Aceh yang mahir menari tari Aceh, seudati, rapai geleng, dan meniup serune kalee, alat musik Aceh.
Saya mengajak Iyas untuk menggesek biola dalam pertunjukan tugas karya penciptaan ini.
Tentu akan memberi warna lain dari sebuah pertunjukan didong.
Bus yang kami tunggu tiba. Petugas stasiun Cililitan meneriakkan untuk segera naik ke bus jurusan Grogol.
Sebelum naik, saya mengambil beberapa gambar dengan kamera untuk merekam suasana stasiun.
Hujan deras ketika busway “berkulit” campuran oranye, merah, dan kuning itu meninggalkan terminal Cililitan.
Penumpang tidak terlalu ramai. Saya dan Kabri memilih duduk di bangku paling belakang.
Baca juga: BRI Liga 1 2023/2024 Dewa United vs Arema FC, Prediksi Pertandingan, Preview Tim, dan Susunan Pemain
Bus ini menggunakan dua gerbong. Saya mengambil beberapa foto dalam bus.
Saya sengaja mengajak Kabri naik busway agar dia lebih menghayati suasana pertunjukan nanti.
Maklumlah, Kabri sudah sejak setahun terakhir berada di kampung halaman, Aceh Tengah.
Pertunjukan didong itu nanti melibatkan 20-30 pendukung. Mengingat masing-masing grup menyertakan 10-15 orang.
Itulah sebabnya dibutuhkan bus yang memiliki dua gerbong.
Paling tidak satu gerbong bisa digunakan untuk kepentingan pertunjukan, dan satu gerbong lagi untuk kebutuhan penumpang lainnya.
“Kita akan mengambil gerbong depan. Gerbong belakang untuk penumpang lain,” kata saya kepada Kabri.
Baca juga: Timnas Voli Putra Korea Selatan Turunkan Skuad Utama di AVC Challenge Cup 2023, Alarm Bagi Thailand
Pertimbangannya, gerbong belakang bising oleh suara mesin.
Grup didong yang tampil mengambil posisi duduk melingkar di lantai bus. Nanti lantai itu dilapisi alas tikar.
Kalau mengambil duduk berhadap-hadapan antara dua grup yang bertanding, tempatnya terlalu sempit.
Pada saat pertunjukan berlangsung, penumpang tetap naik turun seperti biasa.
Bus berhenti di tiap stasiun. Dengan begitu penumpang bisa merespon pertunjukan tersebut secara alamiah.
Bus melaju ke Grogol melintasi 19 stasiun, mulai dari UKI, Cawang, Pancoran, Kuningan, Semanggi, Slipi Palmerah sampai ke Grogol.
Perjalanan siang itu menghabiskan waktu satu jam. Itu karena terhalang macet mulai dari Pancoran sampai Kuningan.
Petugas bus menginformasikan, penumpang lengang pada hari Sabtu dan Minggu. Itu adalah hari libur kerja di Jakarta.
Baca juga: Puisi dari Tanah Gayo: Cara Menanam Kopi dalam Didong Sidang Temas
Pertunjukan ini nanti dijadwalkan hari Sabtu saja.
Selain alasan lengangnya penumpang, alasan lain karena pendukung pertunjukan sebahagian besar pegawai.
Liburnya Sabtu dan Minggu.
Durasi pertunjukan tidak tergantung dengan jadwal ketibaan bus di Grogol.
Pertunjukan tetap berlangsung sampai seluruh puisi habis, meskipun bus sudah tiba di Grogol dan memutar kembali ke Cililitan.
Tapi diperkirakan waktu yang dibutuhkan adalah dua jam.(*)
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews