Seni Gayo

Mengenal Beberapa Istilah dalam Seni Didong Gayo, Ada Sare dan Tep Onem

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Khalidin Umar Barat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pertunjukan didong di acara pembukaan Desember Kopi Gayo 2023

Laporan Fikar W.Eda I Jakarta

TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Salah kesenian masyarakat Gayo yang paling populer adalah didong, seni yang memadukan puisi, vokal, gerak, dan teater.

Didong berlangsung semalam suntuk, menampilkan dua grup didong. Pertunjukan didong menggunakan panggung berbentuk arena.

Sehingga penonton bisa menyaksikan kesenian itu dari semua sisi.

Panggung pertunjukan didong dibangun temporer pada tempat-tempat tertentu di ruang terbuka, seperti halaman sekolah, lapangan sepak bola, dan sebagainya. Penonton perempuan biasanya terpisah dari penonton laki-laki.

Para pemain didong yang terdiri dari dua grup (kelop) dalam suatu pertunjukan didong, duduk bersila dalam lingkaran yang terpisah.

Mereka menepuk tangan atau kanvas kecil secara serempak dan teratur disertai variasi gerak-gerak tubuh secara serentak pula.

Tepukan tangan berfungsi sebagai ritme mengiringi puisi-puisi didong yang didendangkan oleh para ceh.

Salah seorang ceh didong¸Ibrahim Kadir, pada Mei 2011, menjelaskan bahwa para pemain didong tampil dengan pakaian kemeja putih, mengenakan kopiah hitam, dan sarung samarena.

Sedangkan untuk ceh, dilengkapi dengan tambahan aksesoris berupa syal dengan warna mencolok melilit di leher.

Pada pertunjukan didong terdapat beberapa bagian yaitu sare, persalaman, kisah, tep onem, dan diakhiri dengan didong morom atau didong saling bermaafan antara kedua grup didong di penghujung pertandingan.

Sare, adalah atraksi variasi bunyi yang dibawakan secara koor sehingga mampu menghangatkan suasana dan diteruskan dengan puisi pendek.

Persalaman, adalah puisi yang mengandung sapaan kepada penonton, tamu undangan dan lawan tanding.

Bagian lain adalah kisah, yaitu puisi yang berisi tentang cerita perjalanan hidup dengan segala duka-citanya, termasuk ke dalamnya adalah kerinduan terhadap kampung halaman, atau kisah-kisah tertentu tentang adat, lingkungan dan sebagainya.

Ada lagi yang disebut tep onem yaitu lirik yang mengandung sindiran “halus dan tajam” kepada lawan tanding. Puisi sindiran tajam biasanya diperdengarkan pada tengah malam atau dini hari. Dengan cara demikian, penonton akan tetap terjaga dan bebas kantuk.

Didong morom atau didong bersimaapen memuat permohonan maaf kepada lawan tanding, karena selama semalaman saling “menyerang dan menjatuhkan dengan puisi” yang mungkin saja menyinggung perasaan.

Puisi didong kaya dengan unsur-unsur efoni, kata yang didominasi dengan huruf hidup atau vokal, yang menyebabkan puisi didong terdengar merdu saat didendangkan.

Perihal efoni dijelaskan oleh Atmazaki (1993: 83), bahwa bunyi yang muncul dari sajak tidak selalu merdu dan menyenangkan.

Kadang-kadang bunyi tersebut justru parau, penuh dengan bunyi konsonan seperti k, p, t, s . Bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan dapat melancarkan pengucapan.

Ia bersifat musikal. Bunyi-bunyi tersebut disebut efoni. Sedangkan bunyi-bunyi parau dan tidak menyenangkan serta tidak musikal disebut bunyi kakafoni.

Selanjutnya puisi didong juga memiliki pola rima tertentu yang terjaga dalam tiap puisi. Rima adalah persamaan bunyi akhir kata pada ujung larik atau tengah larik tiap puisi.(*)

Baca juga: Lirik Lagu Enge Beta Ini Karya Sali Gobal, Sang Maestro Didong Gayo

Baca juga: Seni Gayo, Seni Didong dalam Empat Periode, Awal Disebut Didong "Teka-Teki atau Berkal-akalen"

Baca juga: Prikogading Dinakhodai Tengku Irwansyah Siap Menggebrak Hari Didong 5 Agustus