Seni Gayo

Seni Gayo, Seni Didong dalam Empat Periode, Awal Disebut Didong "Teka-Teki atau Berkal-akalen"

Masyarakat Gayo  punya cara sendiri menghibur diri, yaitu dengan didong, puisi yang didendangkan sampai pagi.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Rizwan
TribunGayo.com
Grup Didong Musara Bintang di pentas didong Desember Kopi Gayo 2023 di Buntul Saraine Bener Meriah 

Laporan Fikar W.Eda I Jakarta

TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Masyarakat Gayo  punya cara sendiri menghibur diri, yaitu dengan didong, puisi yang didendangkan sampai pagi.

Didong, kesenian yang paling mendapat tempat dan sampai saat ini tetap mengisi “malam beku” udara Tanah Gayo, mengisi kegiatan-kegiatan tertentu seperti memeriahkan perhelatan perkawinan, selepas panen padi (luwes belang), menggalang dana untuk pembangunan rumah sekolah, masjid, pembangunan jalan-jembatan dan lain-lain. 

Bagi masyarakat Gayo perantauan, pertunjukan didong diselenggarakan untuk memuaskan rindu kampung halaman sekaligus menjadi forum silaturrahim sesama perantau.

Didong adalah seni yang memadukan puisi, seni musik dan vokal, serta seni tari.

Pertunjukan didong berlangsung semalam suntuk, dimulai selepas isya dan berakhir menjelang subuh esoknya.  

Didong Jalu atau didong tanding, ialah pertunjukan yang mempertandingkan dua grup (klop) didong.

Masing-masing grup terdiri dari pria dewasa berjumlah 20 sampai 30 orang yang berasal dari belah atau komunitas masyarakat (kampung) yang berbeda.

Baca juga: Seni Gayo, Peristiwa Langka, Ceh Kabri Wali Berdidong dalam Bus Trans Jakarta Melawan Singkite

Tiap grup terdapat tiga pasang ceh, sosok sentral yang tampil sebagai pendendang  puisi, dan pengarang puisi.  Para ceh ini memiliki suara merdu atau ling temas. 

Pasangan ceh pertama disebut ceh utama selanjutnya pasangan berikut disebut ceh due (ceh dua) dan ceh tige (ceh tiga).

Masing-masing ceh berusaha menjatuhkan grup lawan dengan cara membuat puisi yang berisi sindiran, atau puisi yang menjawab teka teki.

Antropolog Universitas Indonesia, almarhum M Junus Melalatoa menyebut ceh itu sebagai aktor utama dalam pertunjukan didong, karena dialah yang mengendalikan pertunjukan dengan menciptakan gerak dan variasi bunyi tertentu untuk memberi semangat kepada grup. 

Di atas panggung didong jalu (didong tanding), ceh juga  dituntut kemahirannya menciptakan  puisi secara spontan untuk membalas sindiran.

Penonton akan menilai grup didong itu lemah apabila ceh-nya tidak mampu membalas puisi-puisi sindiran dari pihak lawan. 

Puisi-puisi didong didendangkan dengan iringan tepuk tangan atau tepukan kanvas kecil seukuran telapak tangan  oleh para penunung (pendukung) dalam satu pentas pertunjukan.

Baca juga: Kabri Menguggat Perubahan dalam Lirik Lagu KUSI NGE KITENI

Sumber: TribunGayo
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved