Rudapaksa Adik Ipar
Warga Bener Meriah Diduga Rudapaksa Adik Ipar, Ini Kata Psikolog
Seorang warga di Kabupaten Bener Meriah ditangkap polisi setelah diduga melakukan rudapaksa terhadap adik iparnya sendiri.
Penulis: Kiki Adelia | Editor: Sri Widya Rahma
Ringkasan Berita:
- Seorang pria berinisial J (25) dari Bener Meriah ditangkap polisi karena diduga merudapaksa adik iparnya yang masih di bawah umur.
- Penangkapan dilakukan oleh Unit PPA Polres Aceh Tenggara bersama Polsek Bandar di Desa Cemparam Lama, Mesidah, pada 18 November 2025.
- Peristiwa terjadi pada 19 Oktober 2025 sekitar pukul 06.30 WIB di kamar korban, Kecamatan Bambel, Aceh Tenggara.
Laporan Wartawan Tribun Gayo Kiki Adelia | Bener Meriah
TribunGayo.com, REDELONG - Kasus rudapaksa terhadap anak di bawah umur kembali menjadi sorotan publik.
Seorang warga di Kabupaten Bener Meriah ditangkap polisi setelah diduga melakukan rudapaksa terhadap adik iparnya sendiri.
Korban yang masih di bawah umur tersebut diduga menjadi korban pelecehan dan rudapaksa oleh pelaku berinisial J (25).
Pelaku berhasil ditangkap oleh Personel Unit PPA Sat Reskrim Polres Aceh Tenggara, dibantu Polsek Bandar Polres Bener Meriah, di Desa Cemparam Lama, Kecamatan Mesidah, Bener Meriah, pada Selasa (18/11/2025).
Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Yulhendri SIK, melalui Kasat Reskrim Iptu Zery Irfan SH MH, dalam keterangan resminya pada Kamis (20/11/2025), membenarkan penangkapan pelaku yang diduga melakukan rudapaksa terhadap adik iparnya.
Baca juga: Rudapaksa Adik Ipar, Warga Bener Meriah Diringkus Polisi
Kronologi Kejadian
Peristiwa dugaan pelecehan dan rudapaksa ini terjadi pada Minggu (19/10/2025) sekitar pukul 06.30 WIB, di rumah korban, tepatnya di kamar korban di Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara.
Berdasarkan keterangan korban, pelaku yang merupakan abang ipar datang dari Bener Meriah dan tiba-tiba masuk ke dalam kamar saat korban sedang tidur.
Pelaku kemudian mengunci pintu kamar dan melakukan tindakan rudapaksa.
Korban sempat menjerit histeris hingga terdengar oleh neneknya.
Menyadari panik dan ketakutan, pelaku kabur melalui jendela, sementara korban berhasil membuka pintu dan keluar dari kamar.
Setibanya ibu korban di rumah, ia mendapat penjelasan dari nenek korban mengenai kejadian tersebut.
Korban kemudian mengakui perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Kasus ini kembali menyoroti maraknya kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekat, bukan orang asing.
Tanggapan Ahi Psikolog
Seorang Ahi Psikolog dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bener Meriah, Ismi Niara Bina kepada TribunGayo.com, Kamis (20/11/2025) malam, mengungkapkan bahwa lebih dari 95 persen pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari lingkungan terdekat korban.
Hal ini terjadi karena pelaku yang memiliki kedekatan relasi dianggap lebih mudah membangun kedekatan, kepercayaan, sekaligus mencari celah melakukan tindakan kekerasan.
"Anak biasanya menolak ketika didekati orang asing. Justru mayoritas pelaku adalah orang dekat yang punya akses dan kesempatan," katanya.
Baca juga: Ayah Kandung di Aceh Tenggara Diduga Rudapaksa Anak Perempuannya
Pelaku Biasanya Gunakan Ancaman Psikologis
Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual menggunakan ancaman untuk membungkam korban, seperti melarang berteriak atau mengadu.
Karena itu, kedekatan antara anak dan anggota keluarga lain sangat berperan dalam keberanian korban untuk mencari pertolongan.
"Kalau korban tidak dekat dengan keluarga lain, ia cenderung takut melawan karena termakan ancaman pelaku. Pada kasus ini, korban berani teriak dan minta tolong, artinya hubungan keluarga cukup dekat," jelasnya.
Pentingnya Pendidikan Reproduksi Sejak Dini
Ismi Niara Bina menekankan bahwa salah satu langkah pencegahan terpenting adalah pendidikan kesehatan reproduksi untuk anak sejak dini.
Anak harus memahami batasan tubuh, bagian yang tidak boleh disentuh, dan cara meminta pertolongan.
"Anak harus paham Batasan, mana sentuhan yang boleh, mana yang tidak. Ini kunci untuk mencegah kekerasan seksual," tambahnya.
Soal Identitas Pelaku, Publik Dorong Efek Jera
Dalam kasus kekerasan seksual, identitas pelaku seringkali disamarkan demi kepentingan hukum. Namun psikolog menilai, publik ingin ada efek jera yang lebih kuat.
"Idealnya pelaku tidak di-blur wajahnya, namanya disebut jelas. Supaya jadi efek jera dan pelaku lain berpikir ulang," ucapnya.
Meski demikian, ia menegaskan penanganan tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang dan ketentuan yang berlaku.
Tidak Ada Lingkungan yang Sepenuhnya Aman
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak ada lingkungan yang benar-benar bebas risiko, bahkan di lingkar keluarga sendiri.
Karena itu, kewaspadaan dan kemampuan melindungi diri menjadi faktor penting bagi anak dan keluarga.
"Tidak ada satu orang pun yang bisa kita percaya sepenuhnya. Paling tidak, jika tidak mampu sepenuhnya menjaga diri, anak harus berani minta tolong," tegasnya. (*)
Baca juga: Kasus Kakek Rudapaksa Cucu di Aceh Tenggara, Polisi Terbitkan DPO
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/Psikolog-dari-UPTD-Perlindungan-Perempuan-dan-Anak-PPA-Kabupaten-Bener-Meriah-Ismi-Niara-Bina.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.