Seni Gayo
Didong Jalu, Memiliki Beberapa Bagian dan Istilah, Berikut Penjelasannya
Panggung pertunjukan didong dibangun temporer pada tempat-tempat tertentu di ruang terbuka, seperti halaman sekolah, lapangan sepak bola, dan...
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
Yaitu puisi yang berisi tentang cerita perjalanan hidup dengan segala duka-citanya, termasuk ke dalamnya adalah kerinduan terhadap kampung halaman, atau kisah-kisah tertentu tentang adat, lingkungan dan sebagainya.
Baca juga: Ayun dan Prof Mr Chen dari Takengon Pakai Kerawang Gayo, Semarakan Didong Gayo di Perpusnas Jakarta
Puisi yang mengisahkankan tentang kampung halaman acap didendangkan oleh grup didong yang diundang bertanding di luar daerah Gayo, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan lain-lain.
Atau kisah-kisah pembangunan suatu daerah dan sebagainya
6. Tep Onem
Ini adalah puisi sindiran “halus dan tajam” ditujukan kepada lawan tanding.
Lirik-lirik sindiran dan serangan ini biasanya diperdengarkan pada tengah malam atau dini hari, saat penonton mulai mengantuk, kata antropolog almarhum M Junus Melalatoa dalam buku Kebudayaan Gayo.
Penonton menyukai "tep onem" untuk melihat kecanggihan dan ketangkasan para Ceh menjawab sindiran atau membuat sindiran yang tidak jarang bikin "merah kuping."
7. Didong Morom
Didong morom atau "didong bersimaapen" memuat tentang permohonan maaf kepada lawan tanding, karena selama semalaman saling “menyerang dengan puisi” yang mungkin saja menyinggung perasaan.
"didong bersimaapen" merupakan bagian akhir dari rangkaian pertunjukan Didong Jalu.
"Didong morom" atau "didong bersimaapen" adalah ruang puncak bagi kedua grup untuk menyampaikan permohonan maaf dan memberi maaf.
Permohonan maaf dilantunkan oleh Ceh didong atau penyair didong, dalam irama syahdu, yang dalam khasanah Gayo disebut "pepongoten". (*)