Berita Nasional
Muhammad Nazar SIRA: Penyelesaian Non Yudisial Tidak Cukup Hentikan Kultur Pelanggaran HAM
menghargai meskipun masih meragukan kebijakan dan langkah Presiden RI Joko Widodo, menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jafaruddin
Laporan Fikar W.Eda I Jakarta
TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Tokoh kharismatik gerakan sipil Aceh, Muhammad Nazar, menghargai meskipun masih meragukan kebijakan dan langkah Presiden RI Joko Widodo, menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan berat di Aceh.
Pandangan ini diungkapkan Nazar di Jakarta, Minggu, 25 Juni 2023.
“Kita di satu sisi menilai itu langkah bagus, permulaan yang baik yang kita hargai, jika itu memang benar-benar sebagai niat baik dari seorang Presiden.
Tetapi jika ditelusuri dan diteliti seksama, langkah itu juga dapat saja bertendensi politik parsial,
terutama kaitannya dengan keinginan Jokowi menempatkan serta memenangkan Capres yang dianggap rela meneruskan atau tidak menganggu kebijakannya saat ia mengakhiri jabatan Presiden nanti,
dan isu HAM Aceh masih penting di mata siapapun,” sinyalir mantan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 ini.
Baca juga: Ini Mahasiswa PNL yang Berhasil Meraih Juara Dalam Kompetisi NPEO 2023 di Sumatera Selatan
Nazar tokoh utama aktifis gerakan referendum, keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) untuk Aceh itu menilai, penyelesaian non yudisial itu tidak akan memadai,
apapun kompensasi dan permintaan maaf yang diberikan negara kepada korban di beberapa lokasi di Aceh.
Masalahnya bukan pada urusan dendam tetapi harga kemanusiaan yang harus terhormat.
“Secara kuantitatif jumlah pelanggaran HAM berat dalam rentang waktu 1989 - 1999 plus setelahnya semasa pemberlakuan darurat militer dan darurat sipil di Aceh sangatlah banyak,
nyata terjadi di sebahagian besar wilayah operasi militer di Aceh,” Nazar mengingatkan.
Pendiri dan pimpinan tertinggi Partai SIRA itu ikut mengingatkan, “Pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat Aceh oleh negara itu belum termasuk jika ditarik lagi ke belakang dalam sejumlah operasi militer pada tahun 1978-1988.
Baca juga: Dua KK Korban Angin Puting Beliung di Gayo Lues Masih Mengungsi
Juga sewaktu negara memberantas pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh pada masa orde lama.'
“Kalau negara mau jujur dan benar hendak memperbaiki keadaan kemanusian, kebebasan dan keadilan tentu wajib mengakui semua kejahatan mematikan dan menghancurkan itu,
lalu dibarengi dengan permintaan maaf, kompensasi dan penyelesaian hukum secara adil,” ujarnya merekomendasikan.
Tokoh yang sering disapa Wagub senior itu, memberikan advis agar setelah mengakui semua kejahatan kemanusiaan,
terutama pelanggaran HAM serius maka pemerintah atau negara juga tidak boleh hanya mencukupkan diri dengan sekedar pengakuan setengah hati, permintaan maaf dan kompensasi terbatas saja.
Baca juga: Pj Bupati Aceh Tengah Resmi Buka Acara Care Free Day dan Bazaar UMKM
“Proses penegakan hukum terhadap para pelaku siapapun mereka, apalagi melibatkan kekuatan negara seperti TNI dan Polri misalnya, tetap wajib dilakukan.
Jika tidak, maka di masa-masa akan datang setiap terjadi perbedaan pandangan atau gerakan kritis dari rakyat terhadap negara maka bisa saja terulang kembali peristiwa kejahatan yang sama atau bahkan lebih parah,
jadinya harga nyawa dan kemanusian itu terlalu murah, dan bahkan hina tidak terhormat sama sekali,” tutur Nazar tegas.
“Pengakuan setengah hati itu berbahaya, apalagi kalau hanya sekedar memiliki tendensi politik parsial,” ia mengingatkan.
“Sekarang saja langkah setengah hati itu telah nampak.
Pelanggaran HAM berat di Aceh cuma diakui di sebahagian kecil lokasi saja dan bahkan beberapa bekas penting sebagai bukti penting yang harus menjadi memori kemanusiaan universal masih dicoba hilangkan seperti puing-puing rumoh geudong,” lanjut tokoh aktifis dan politisi senior itu sedikit prihatin.
Baca juga: Fenomena Langka Air Sungai Surut di Aceh Tengah, Warga Ramai Cari Ikan
Sebagaimana diketahui secara luas, sejak 1999 Nazar bersama aktifis Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan beberapa lembaga non pemerintah pro HAM sangat aktif mengkampanyekan penegakan HAM dan keadilan untuk Aceh hingga ke forum-forum internasional,
selain SIRA juga dikenal mengusung perjuangan referendum penentuan nasib sendiri dan perdamaian di bawah mediasi internasional bagi Aceh.
Berbagai lembaga resmi pemerintah di banyak negara, agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga non pemerintah internasional sering mengutip laporan pelanggaran HAM di Aceh yang dipublikasikan serta dikirim oleh SIRA sebagai referensi mereka dalam mendorong pemerintah RI memperbaiki kondisi kemanusiaan.
Karena aktivitas konsisten gerakan perjuangannya itu, Nazar beberapa kali ditangkap dan ditahan oleh pemerintah RI hingga diasingkan ke penjara di Lowok Waru, Malang Jawa Timur.
Rumah orang tuanya di kampung kelahirannya di Pidie Jaya juga dibakar hangus orang-orang bersenjata tak dikenal tanpa sisa. Ia baru dibebaskan dan dipulangkan ke Aceh kembali pada 31 Agustus 2005 sebagai bahagian dari realisasi MoU Helsinki.(*)
| DSI Usulkan Mahkamah Agung Wajibkan Mediasi di Tingkat Banding dan Kasasi |
|
|---|
| Haul Sastrawan di UI: Semaan Puisi Padukan Doa, Sastra, dan Refleksi Kebangsaan |
|
|---|
| Sastrawan Indonesia Terbitkan Resolusi Tentang Calon Penerima Penghargaan BRICS |
|
|---|
| DSI Buka Kelas Internasional Bidang Hukum APS Bersama UNSURYA |
|
|---|
| Psikolog Keluarga Ungkap Latar Belakang Lahirnya Tepuk Sakinah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/Muhammad-Nazar.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.