Berita Nasional
Didong Dalam Trans Jakarta: Dendang Gang Rusa Pondok Ranji Ciputat
Gema adzan Isya sudah berlalu ketika terdengar tepukan tangan dan bantal dari Gang Rusa II RT/RW 04/04 No 04 Pondok Ranji Ciputat Timur, Tangerang...
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jafaruddin
Laporan Fikar W.Eda I Jakarta
TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Pertunjukan didong jalu dilakukan dalam bus Trans Jakarta, Minggu, 3 Juni 2012, pukul 14.00 WIB.
Bus melaju dari stasiun PGC Cililitan menuju halte Grogol, pulang pergi. dua grup yang berdidong tanding dalam bus Trans Jakarta klop Singkite dari Ciputat dengan Bintang Duta dari Cibubur.
Itulah satu-satunya pertunjukan didong dalam Transjakarta, sejak perusahaan angkutan umum milik Pemerintah DKI Jakarta itu beroperasi.
Pertunjukan itu sebagai bagian tugas akhir dari mahasiswa angkatan III Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2010-2012, FIkar W.Eda. Pembimbing Prof Sardono W Kusumo, dan Arthur S Nalan.
Penguji terdiri dari Hadi Artomo, M.Sn, Merwan Yusuf, DEA, dan DR. Iwan Gunawan. Seperti apa persiapan dan jalannya pertunjukan? Saya menceritakannya untuk Anda.
"LATIHAN"
Gema adzan Isya sudah berlalu ketika terdengar tepukan tangan dan bantal dari Gang Rusa II RT/RW 04/04 No 04 Pondok Ranji Ciputat Timur, Tangerang, Banten.
Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Perang Puisi dalam Perut Trans Jakarta
Suara tingkah tepukan tangan dan bantal kecil itu mengiringi dendang puisi didong dilantunkan Ceh Aris, Ceh Item Kamal Basri dan kawan-kawan.
Di gang sempit itu terdapat empat rumah berjejer saling berhadapan. Tiga rumah milik Ceh Item Kamal. Satu rumah dia tempati bersama keluarga.
Dua rumah lagi dikontrakkan. Sedangkan satunya lagi milik Sabirin.
Letak keempat rumah tersebut paling ujung.
Di gang itulah tikar dibentang, dijadikan tempat berlatih didong grup Singkite, pada Sabtu (18/2/2012) malam.
Ada sepuluh pria hadir. Mereka mengenakan kain sarung yang diselempangkan di pundak.
Ceh Aris juga mengenakan selempang sarung. “Dulu di Gayo kita memang sering mengenakan sarung saat berdidong,” kata Ceh Aris.
Baca juga: Harga Cabai Merah di Gayo Lues Kini Naik Rp 3 Ribu Per Kilogram
Gayo berada di dataran tinggi. Lebih kurang 1500 meter di atas permukaan laut.
Udaranya dingin, terutama malam hari. Kain sarung menjadi atribut pengusir hawa dingin.
Saya datang bersama Lambok Risdianto Purba dan dua anggota timnya, Ken, dan Roy.
Mereka adalah kru film yang akan mendokumentasikan acara latihan malam itu.
Ceh Aris mengeluarkan lembaran-lembaran kertas yang sudah ditulisi puisi.
Ia menggunakan kertas bekas. “Ini karangannya,” katanya sambil memperlihatkan lembaran kertas itu.
Terdapat beberapa judul puisi; DPR Hai DPR; Jakarta Kebanjiran; Bank Century; Problema Jakarta.
Ceh Aris lalu melantunkan beberapa bagian, sambil menunggu anggota Singkite lain yang sedang menuju tempat latihan.
Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Bunyi Canang dan Tepok Runcang
PROBELAMA JAKARTA
Assalamu’alikum salam pembuka
Pada saudara kami sampaikan
Dengan bismillah kalimat pertama
Kami berkata mohon didengarkan
Seni Gayo ada di Jakarta
Catat alamatnya Jakarta Selatan
Kami berdidong mungkin salah kata
Dengan lapang dada mohon dimaafkan
Jakarta ibukota Indonesia
Disebut juga metropolitan
Kalau hujan lebat terlalu lama
Dimana-mana kita kebanjiran
Kalau banjir kota Jakarta
Salah siapa kita tanyakan
Kami ini rakyat jelata
Pada siapa kami adukan
Jakarta hai Jakarta
Yuk kita jaga jangan kebanjiran
Kita tinggal di ibukota Jakarta
Harus dijaga semua lingkungan
Kalau buang sampah pada tempatnya
Supaya kalinya bersih kelihatan
Kalau buang sampah dimana-mana
Tersumbat airnya tidak bisa jalan
Air mengalir tak tentu arahnya
menjadi bencana kita kebanjiran
Jabodetabek dekat Jakarta
Banyak penduduknya cari penghidupan
Jumlah kendaraan berjuta-juta
Jalan yang ada sudah kekecilan
Akhirnya macet dimana-mana
Aparat Pemda ikut kebingungan
Polisi mengatur di jalan raya
Sabar hatinya tugas dijalankan
Jakarta hai Jakarta
Yuk kita jaga jangan kebanjiran
Baca juga: Ini 30 Nama Calon Pj Bupati/Wali Kota 10 Daerah di Aceh yang Diusul Pj Gubernur ke Mendagri
Saya mengeluarkan “Rencong” buku berisi kumpulan puisi yang terbit pada 2008.
Saya memperlihatkan puisi berjudul “Ke Langit Tak Berbatas,” ciptaan saya, dan minta Ceh Aris mendendangkan puisi itu secara didong. Inilah puisinya.
KE LANGIT TAK BERBATAS
ke langit tak berbatas
ke bumi tak berpentas
seperti burung lepas
aku terbang sendirian
terhempas di arus deras
mental ke bawah ke atas
persis lembar kertas
terampas dari jilidan
tubuh kumal nasib kumal
penuh sulam penuh tambal
benang kasar cerai berai
terburai dari pintalan
awan hitam payungku
sampai kapan berlalu
menjadi hujan netes ke dagu
agaknya inilah suratan
rimba raya rumahku
langkah jerat akar kayu
memungut ratap daun layu
pohon-pohon bertumbangan
di tengah Jakarta aku sesat
terhimpit mimpi angan kasat
tubuhku lumat
sampai tak kelihatan
mereka asyik atur siasat
di meja seminar nasib tercatat
diiring tawa sedikit debat
seperti ayam aku dientaskan
(ke langit tak berbatas
ke bumi tak berpentas)
Banda Aceh, Agustus 1994
Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Perang Puisi dalam Perut Trans Jakarta
Beberapa kali dia mencoba mendendangkan puisi tersebut.
Sampai kemudian ia merasa cocok dan pas. Sedangkan puisi satu lagi berjudul “Matahari Kuning Tugu Monas” sudah lebih awal saya serahkan.
“Tugu Monas” akan dibawakan dengan cara pepongoten,yaitu salah batu bentuk melodi Gayo yang terdengar seperti ratapan.
Ketika seluruh anggota grup pendukung Singkite sudah datang, proses latihan pun dimulai.
Sementara itu Lambok Risdianto, Ken, dan Roy sibuk mengambil gambar dari berbagai sisi.
Dua lighting 1000 watt dinyalakan untuk mendukung pencahayaan.
Ceh Aris dan Ceh Item Kamal berbagai puisi. Mula-mula Ceh Aris mendendangkan dua puisi.
Baca juga: Didong Jalu dalam Trans Jakarta: Kedatangan Urbanis Gayo di Ibukota Negara
Sabirin dan Aman Dea mengatur tepukan. Variasi tepukan diusahakan berbeda pada tiap lagu.
Ceh Item Kamal Basri membawakan puisi “Matahari Kuning Tugus Monas,” dengan cara pepongoten tadi.
Suaranya nyaring. Saya sendiri ikut duduk melingkar.
Ikut memainkan bantal kecil ukuran telapak tangan. Bantal itu ditepuk-tepuk, melahirkan bunyi, dipadukan dengan tepukan tangan, hingga memperdengarkan bunyi unik.
Ceh Aris menceritakan, menemukan lagu yang pas untuk syair didong, sulit-sulit gampang.
Ada kalanya lagu ditemukan sangat cepat. Sekali coba langsung jadi.
Tapi ada kalanya harus direnung-renungkan lagi. Puisi “Ke Langit Tak Berbatas” tidak terlalu sulit.
Malam itu dicoba, dan langsung jadi. “Itu karena susunan pantunnya pas seperti pantun didong.” Kata Ceh Aris.
Baca juga: Ibukota Heboh, Pertunjukan Didong Jalu dalam Trans Jakarta
Istilah “pantun” yang dimaksud Ceh Aris, adalah persamaan bunyi yang menyertai tiap larik puisi.
Terhadap puisi yang tidak terlalu baik susunan rimanya, dibawakan dengan cara pepongoten tadi.
Dalam menciptakan didong, Ceh Aris mengawalinya dengan menciptakan puisinya terlebih dahulu. Baru kemudian lagu dan pengiring tepukan.
Berlatih didong di Gang Rusa mengundang rasa ingin tahu warga sekitar.
Ceh Item menjelaskan, biasanya warga yang datang menyaksikan latihan ramai.
Tapi malam itu hanya ada beberapa orang yang menyaksikan, termasuk beberapa anak.
Para penonton latihan biasanya tanpa sadar ikut menepuk-nepuk tangan mengikuti irama didong yang sedang dimainkan.
Singkite rutin berlatih di tempat itu pada malam Sabtu dan malam Minggu.
Baca juga: Didong dalam Trans Jakarta: Pertunjukan Didong Jalu Pertama di Ibukota
Tapi malam lain pun, Ceh Aris kadang datang bertandang ke sana, sekedar mengobrol dengan Ceh Item Kamal dan koleganya yang lain.
Antara tempat latihan dengan kediaman Ceh Aris juga tidak terlalu jauh, lebih kurang 200 meter.
Dua hari sebelum Ceh Aris meninggal dunia, masih menyempatkan diri datang ke sana.
Bertemu dan berbicara dengan Ceh Item, membincangkan persiapan pertunjukan didong di Trans Jakarta.
Malam makin larut ketika latihan usai. Sepuluh puisi didong sudah didendangkan.
Singkite menyatakan sangat siap menghadapi Bintang Duta.
Rekaman visual malam itu boleh adalah rekaman terakhir bagi Ceh Aris.
Ia memang sempat menceritakan penyakit jantung yang dideritanya. Tapi ia yakin akan pulih kalau sudah berada di panggung didong.
Baca juga: Klop Didong Gayo Teruna Jaya Raih Juara Pada Gelar Budaya Gayo di Perpusnas Jakarta
Meski kemudian takdir berkata lain. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kematian Ceh Aris tidak menyurutkan semangat grup Singkite untuk melanjutkan “pertarungannya” dengan grup Bintang Duta.
Pengganti Ceh Aris ada Ceh Syahrial dan Ceh Yusda, disamping Ceh Item sendiri.
Mereka inilah yang akan saling berbagai puisi dalam pertunjukan di bus way itu nanti.(*)
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews
Musara Gayo akan Gelar Upacara Pengibaran Bendera di Jakarta Timur, Peserta Kenakan Kerawang Gayo |
![]() |
---|
Ketua KP2 ALA Meriahkan Perayaan Hari Didong 2025 di HB Jassin Jakarta |
![]() |
---|
Penyair dan Deklamator Indonesia Rayakan Hari Didong di PDS HB Jassin TIM Jakarta |
![]() |
---|
Lima Rekomendasi Penting Lahir dari Rakernas Evaluasi Haji 2025 |
![]() |
---|
Perahu Cadik Papua, Koleksi Unik dari Suku Demta Hadir di Museum Kebaharian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.