Berita Nasional

MKMK Pecat Ketua MK Anwar Usman dari Jabatan, Berikut 6 Kode Etik yang Dilanggarnya

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya. Pemberhentian oleh  Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

|
Editor: Rizwan
TribunJambi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman 

6. Tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan perselisian hasil pemilu

Anwar Usman tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum.

Perselisihan ini berupa pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta gubernur, bupati, dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Baca juga: Federasi Serikat Guru Menyayangkan Putusan MK Soal Kampanye di Fasilitas Pendidikan

Tidak bisa banding

Mengutip Kompas.com, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman dari jabatan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan, putusan ini berlaku sejak dibacakan.

Anwar tak bisa mengajukan banding atas putusan pemberhentiannya.

“Ketentuan mengenai majelis banding tidak berlaku. Karena dia (majelis banding) tidak berlaku, maka putusan MKMK yang dibacakan hari ini mulai berlaku hari ini,” kata Jimly dalam sidang pembacaan putusan etik yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).

Jimly mengungkap, jika saja pihaknya memutuskan memberhentikan Anwar secara tidak hormat sebagai hakim konstitusi, adik ipar Presiden Joko Widodo itu justru bisa mengajukan banding.

Menurut Peraturan MK (PMK), banding atas pemberhentian tidak dengan hormat diajukan ke majelis banding yang juga dibentuk oleh MKMK.

Seandainya hukuman pemberhentian tidak dengan hormat dijatuhkan, hal itu justru berpotensi menyebabkan pemberhentian terhadap Anwar tidak pasti.

“Membuat putusan Majelis Kehormatan tidak pasti, sedangkan kita sedang menghadapi proses persiapan pemilihan umum yang sudah dekat,” ucap Jimly.

“Kita memerlukan kepastian yang adil untuk tidak menimbulkan masalah masalah yang berakibat pada proses pemilu yang tidak damai, proses pemilu yang tidak terpercaya,” tuturnya.

Dalam putusannya, MKMK juga merekomendasikan agar mekanisme banding terhadap putusan pemecatan tidak dengan hormat dihapus melalui perbaikan Peraturan MK.

Jika pun tetap ada, kata Jimly, baiknya, mekanisme banding diatur dalam undang-undang.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved