Seni Gayo

Seni Gayo, Seni Didong dalam Empat Periode, Awal Disebut Didong "Teka-Teki atau Berkal-akalen"

Masyarakat Gayo  punya cara sendiri menghibur diri, yaitu dengan didong, puisi yang didendangkan sampai pagi.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Rizwan
TribunGayo.com
Grup Didong Musara Bintang di pentas didong Desember Kopi Gayo 2023 di Buntul Saraine Bener Meriah 

Drs Thantawy. R,  dalam “Kesenian Gayo dan Perkembangannya” (PN. Balai Pustaka, 1980: 52) memilah  didong dalam empat periode.

Periode awal, didong berfungsi sebagai hiburan semata. Pada periode awal ini didong belum menjadi medium sindir-menyindir, melainkan hanya menjawab teka-teki, atau disebut juga didong ber-akal-akalen, atau didong teka-teki.

Periode ini berakhir pada permulaan penjajahan Jepang pada 1904 di Tanah Gayo.

Masih menurut Thantawy. R, sindir-menyindir baru muncul dalam didong pada periode kedua. 

Hal ini menurutnya disebabkan adanya kesadaran persatuan, berbangsa dan bernegara mengurangi pertentangan atau konflik antar belah atau klan.

Rasa permusuhan antar-belah itu disalurkan dalam seni didong. Mulai timbul sindir-menyindir atau tep-onem, yaitu menjatuhkan lawan dengan puisi.

Periode ketiga, seni didong  menjadi penggerak masyarakat. Tema didong sudah  menyentuh masalah-masalah hidup yang ril.

Seni didong telah menjadi motivasi pembangunan dan dipertandingkan untuk mencari dana pembangunan. 

Baca juga: Harga Tembakau Kretek di Gayo Lues Rp 80.000 per Kg

Periode keempat didong berfungsi sebagai media masyarakat, menjadi media komunikasi antara rakyat dengan pemerintah. Seni didong menjadi alat kritik masyarakat.

Pertunjukan didong menggunakan panggung berbentuk arena.

Sehingga penonton bisa menyaksikan kesenian itu dari semua sisi.

Panggung pertunjukan didong dibangun temporer pada tempat-tempat tertentu di ruang terbuka, seperti halaman sekolah, lapangan sepak bola, dan sebagainya. Penonton perempuan biasanya terpisah dari penonton laki-laki.

Para pemain didong yang terdiri dari dua grup (kelop) dalam suatu pertunjukan didong, duduk bersila dalam lingkaran yang terpisah.

Mereka menepuk tangan atau kanvas kecil secara serempak dan teratur disertai variasi gerak-gerak tubuh secara serentak pula.

Tepukan tangan berfungsi sebagai ritme mengiringi puisi-puisi didong yang didendangkan oleh para ceh.

Sumber: TribunGayo
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved