Marak Penimbunan Danau Lut Tawar

Reklamasi Terus Berlanjut, WALHI Soroti Diamnya Pemerintah Soal Penyelamatan Danau Lut Tawar

WALHI Aceh, menilai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, terkesan diam dan belum mengambil langkah nyata terkait reklamasi Danau Lut Tawar.

Penulis: Alga Mahate Ara | Editor: Budi Fatria
Foto Dokumenrasi Fjl Aceh
REKLAMASI DANAU LUT TAWAR - Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal menyoroti terkait reklamasi di Danau Lut Tawar. 
Ringkasan Berita:
  • Kegiatan reklamasi yang terus dibiarkan akan menimbulkan dampak lingkungan serius.
  • Pembiaran reklamasi liar dapat menimbulkan persoalan sosial di tengah masyarakat.
  • Wacana pemerintah daerah pembentukan Qanun tentang “penyelamatan danau” saja tidak cukup kuat tanpa dukungan penegakan hukum.

 

Laporan Wartawan Tribun Gayo, Alga Mahate Ara | Aceh Tengah

TribunGayo.com, ACEH TENGAH – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menilai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, terkesan diam dan belum mengambil langkah nyata dalam menertibkan aktivitas reklamasi liar di kawasan Danau Lut Tawar.

Padahal, kegiatan pembangunan di zona sempadan danau dinilai semakin mengkhawatirkan karena mengancam ekosistem dan mempersempit luas danau setiap tahun.

Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, mengatakan, pemerintah seharusnya segera memberikan peringatan keras kepada para pengusaha yang melakukan pembangunan di wilayah terlarang tersebut.

"Pengusaha-pengusaha nakal itu seharusnya diberi peringatan agar tidak melakukan pembangunan apapun di zona larangan, di radius 50 meter dari tepi danau,” ujar Afifuddin kepada TribunGayo.com Kamis (6/11/2025).

Ini Dampak Lingkungan

Kegiatan reklamasi yang terus dibiarkan kata Afifuddin akan menimbulkan dampak lingkungan serius, seperti sedimentasi, pendangkalan, penurunan kualitas air, hingga gangguan terhadap biodiversitas di perairan Danau Lut Tawar.

Baca juga: Soal Reklamasi Danau Lut Tawar, DLHK Aceh: Pembangunan Harus Ada Dokumen Lingkungan

"Ini punya dampak serius, apalagi sekarang ikan depik mulai berkurang. Luas danau pun setiap tahun berkurang sekitar dua hektare. Kalau dibiarkan, ini berpotensi menyebabkan banjir dan gangguan tata air,” jelas Afifuddin.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Danau, kawasan sempadan danau ditetapkan paling sedikit 50 meter dari tepi air untuk wilayah di luar perkotaan.

Aturan tersebut juga ditegaskan dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang menetapkan Sempadan Danau Lut Tawar sebagai kawasan lindung. 

Di area ini dilarang melakukan pembangunan, penimbunan, atau perubahan bentang lahan yang dapat merusak ekosistem dan kualitas air danau.

Baca juga: Reklamasi Marak di Danau Lut Tawar, Bupati Haili Yoga Segera Siapkan Qanun Bersama DPRK Aceh Tengah

Namun, hingga kini pemerintah daerah belum mengambil langkah tegas menertibkan bangunan yang melanggar ketentuan tersebut.

"Kalau pemerintah beralasan belum bisa menertibkan karena belum ada aturan, itu tidak masuk akal. Regulasi tentang tata kelola danau sudah ada, tinggal dijalankan. Jangan dijadikan alasan,” tegas Afifuddin.

Jangan Mengandalkan Qanun

Afifuddin juga menilai wacana pemerintah daerah untuk pembentukan Qanun tentang “penyelamatan danau” saja tidak cukup kuat tanpa dukungan penegakan hukum nasional yang memiliki kekuatan pidana.

"Secara aturan umum reklamasi itu jelas dilarang. Tapi kalau hanya mengandalkan Qanun, tentu tidak sekuat undang-undang karena tidak punya potensi pidana. Jadi perlu pendekatan hukum yang lebih komprehensif,” jelasnya.

Selain berdampak pada lingkungan, WALHI juga mengingatkan bahwa pembiaran reklamasi liar dapat menimbulkan persoalan sosial di tengah masyarakat, dimana masyarakat merasa pemerintah tebang pilih terhadap pelanggaran yang terjadi di Danau Lut Tawar. 

Baca juga: Aktivis Soroti Dugaan Oknum APH Terlibat Reklamasi dan Pembangunan Ilegal di Danau Lut Tawar

"Kalau pengusaha besar boleh melakukan pembangun di tepi danau, sedangkan masyarakat kecil yang punya cangkul padang tidak, ini akan menimbulkan kecemburuan sosial. Bisa muncul konflik karena dianggap ada perlakuan berbeda,” terang Afifuddin.

Afifuddin menegaskan, sebelum pemerintah berencana mengembangkan kawasan wisata di Danau Lut Tawar, langkah utama yang harus dilakukan adalah menertibkan seluruh pelanggaran yang sudah terjadi.

"Sebelum bicara infrastruktur wisata, tertibkan dulu pelanggaran yang ada. Baru kemudian lakukan kajian komprehensif dari sisi ekologi dan sosial agar pengelolaan Danau Lut Tawar benar-benar berkelanjutan,” pungkasnya. (*)

Sumber: TribunGayo
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved