“Dulu itu belum ada jenis seperti Gayo 3 atau Long Berry. Yang dikenal hanyalah tim-tim (arabica tim-tim), mungkin yang sekarang kita sebut Arabika,” ujarnya.
Meski zaman telah berubah, Zaini menilai bahwa banyak pelajaran dari masa lampau yang justru mulai ditinggalkan.
Salah satunya sistem tanam kopi ala Belanda yang memperhatikan jarak tanam dan penanganan hama secara alami.
“Saat ini, petani milenial berlomba-lomba dengan sistem tanam pagar atau menanam dengan jarak delapan centimeter per batang. Padahal, saya rasa, sistem itu tidak ada di masa Belanda. Kita tidak pernah tahu apa dampaknya jangka panjang ke tanaman,” katanya.
Lebih memprihatinkan, menurutnya, saat ini tidak banyak petani yang memiliki analisa usaha tani yang seharunya dapat menjadi modal besar mengembangkan pengelolaan kopi menjadi lebih berkembang dan maju.
Namun, di balik segala tantangan dan perubahan zaman, masyarakat Gayo tetap menghayati kopi sebagai bagian dari hidup.
Dalam budaya mereka, kopi tak hanya tumbuhan penghasil panen, tapi juga bagian dari doa dan falsafah hidup.
Zaini mengutip syair kuno Gayo:
“Orom Bismillah, sengkewe kunikahkan ko orom kuyu, wih kin wali mu, tanoh kin saksi mu, matanlo kin saksi kalamu.”
Yang artinya: “Dengan Bismillah, kopi kunikahkan dikau dengan angin, air sebagai wali, tanah sebagai saksi, dan matahari sebagai saksi kalam”
Sebuah puisi yang mencerminkan bagaimana masyarakat Gayo memaknai kopi sebagai sesuatu yang sakral, menyatu dengan alam dan spiritualitas.
Lebih dari sekadar komoditas, kopi Gayo adalah warisan, identitas, dan nafas kehidupan.(*)
Baca juga: Budayawan Khalid Ungkap Sejarah dan Masa Depan Kopi Gayo, Komoditas dan Identitas yang Harus Dijaga