Laporan Alga Mahate Ara|Aceh Tengah
TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Di balik harum secangkir kopi Gayo, tersimpan sejarah panjang yang berakar dalam pada tanah, budaya, dan perjuangan masyarakat Gayo di dataran tinggi Aceh Tengah.
Zaini, seorang pemerhati kopi sekaligus pendiri Kampus Kopi dan Pusat Pelatihan Petani Perdesaan Swadaya (P4S), mengajak menyusuri jejak historis kopi yang kini mendunia itu.
Kecintaan Zaini terhadap kopi Gayo bukanlah sekadar profesi, tapi bagian dari perjalanan hidupnya. Di tahun 2010, ia pernah memenangkan kontes Specialty Coffee Arabica Indonesia di Bali dengan skor tertinggi 85,43, yang dinilai oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA) dan Coffee Quality Institute (CQI).
Dari Kementerian Pertanian RI, ia pun diganjar sebagai petani berprestasi atas dedikasinya mengembangkan kopi berkualitas tinggi.
Namun lebih dari penghargaan, Zaini menaruh perhatian serius terhadap akar dan identitas kopi Gayo.
Menurutnya, sejarah mencatat ada perdebatan soal tahun kemunculan kopi Gayo.
Ada yang menyebut tahun 1924, ada pula yang mengatakan tahun 1928.
Namun, tahun 1924 yang paling umum diyakini masyarakat sebagai momen awal tumbuhnya kopi Gayo di Aceh Tengah.
Di sinilah, Belang Gele menjadi titik kunci. Wilayah yang kini masih menyimpan situs-situs peninggalan kolonial seperti bak-bak penampungan air dan jalan bernama "Jalan Mascafe". Nama ini, terang Zaini, berasal dari istilah dalam bahasa Belanda atau Jepang yang berarti “perkumpulan koprasi”.
“Di sinilah (Belang Gele) dulunya menjadi tempat pengumpulan hasil dari daerah-daerah sekitar seperti Paya Tumpi, Burni Bius, Bergendal, dan Blok C,” jelas Zaini.
Ia menambahkan bahwa Belang Gele memiliki sekitar 35 hektar lahan yang dulunya diklaim sebagai wilayah binaan Belanda dalam pengembangan kopi.
Cerita rakyat menyebut, biji kopi Gayo tidak serta-merta diberikan kepada masyarakat.
Justru, untuk mendapatkannya, para pekerja pribumi harus menyelipkan biji kopi dari perusahaan Belanda ke balik piyama mereka, hanya satu hingga tiga butir saja.
Tindakan kecil tapi penuh makna, karena saat itu kopi dianggap barang mewah dan bahkan diyakini mampu "membuat orang Gayo pintar" jika meminumnya alasan mengapa Belanda melarang konsumsi kopi bagi pribumi.
“Dulu itu belum ada jenis seperti Gayo 3 atau Long Berry. Yang dikenal hanyalah tim-tim (arabica tim-tim), mungkin yang sekarang kita sebut Arabika,” ujarnya.
Meski zaman telah berubah, Zaini menilai bahwa banyak pelajaran dari masa lampau yang justru mulai ditinggalkan.
Salah satunya sistem tanam kopi ala Belanda yang memperhatikan jarak tanam dan penanganan hama secara alami.
“Saat ini, petani milenial berlomba-lomba dengan sistem tanam pagar atau menanam dengan jarak delapan centimeter per batang. Padahal, saya rasa, sistem itu tidak ada di masa Belanda. Kita tidak pernah tahu apa dampaknya jangka panjang ke tanaman,” katanya.
Lebih memprihatinkan, menurutnya, saat ini tidak banyak petani yang memiliki analisa usaha tani yang seharunya dapat menjadi modal besar mengembangkan pengelolaan kopi menjadi lebih berkembang dan maju.
Namun, di balik segala tantangan dan perubahan zaman, masyarakat Gayo tetap menghayati kopi sebagai bagian dari hidup.
Dalam budaya mereka, kopi tak hanya tumbuhan penghasil panen, tapi juga bagian dari doa dan falsafah hidup.
Zaini mengutip syair kuno Gayo:
“Orom Bismillah, sengkewe kunikahkan ko orom kuyu, wih kin wali mu, tanoh kin saksi mu, matanlo kin saksi kalamu.”
Yang artinya: “Dengan Bismillah, kopi kunikahkan dikau dengan angin, air sebagai wali, tanah sebagai saksi, dan matahari sebagai saksi kalam”
Sebuah puisi yang mencerminkan bagaimana masyarakat Gayo memaknai kopi sebagai sesuatu yang sakral, menyatu dengan alam dan spiritualitas.
Lebih dari sekadar komoditas, kopi Gayo adalah warisan, identitas, dan nafas kehidupan.(*)
Baca juga: Budayawan Khalid Ungkap Sejarah dan Masa Depan Kopi Gayo, Komoditas dan Identitas yang Harus Dijaga