Berita Nasional
Advokat Asal Aceh J Kamal Farza Bicara Perampasan Aset dalam Webinar Universitas Borobudur
Advokat senior asal Aceh J Kamal Farza tampil sebagai pembicara webinar "Menyoal Perampasan Aset: Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Rizwan
Laporan Fikar W.Eda I Jakarta
TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Advokat senior asal Aceh J Kamal Farza SH MH tampil sebagai pembicara webinar "Menyoal Perampasan Aset: Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia," Senin (12/6/2023).
Webinar ini diselenggarakan Program Doktor Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Borobudur Jakarta.
Selain Kamal Farza, pembicara lain adalah Hakim Agung Prof Surya Jaya, SH. MHUM, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta DR. Reda Manthovani, SH, LLM, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, H Ahmad Sahroni, Anggota DPR RI Trimedya Panjaitan SH MH.
Acara diantar Direktur Program Doktor Hukum Fakultas Pasca Sarjana Universitas Borobudur, Prof Dr Faisal Santiago, dan dimoderatori Pakar Hukum Dr Ahmad Redi.
Kamal Farza yang juga pegiat hak asasi manusia mengatakan, hukum atau kebijakan perampasan aset, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Nah jika putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, perampasan aset tidak dapat dieksekusi.
Bahkan jika pun untuk perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan secara sah asal-usul dari aset tersebut, perampasannya tidak dapat dibenarkan,” paparnya.
Jika dikaitkan dengan HAM, menurut Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini,
Baca juga: Pengusulan Kembali Calon Pj Bupati Bener Meriah, Nama Haili Yoga belum Masuk?
Konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 mengegaskan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Perampasan aset orang tersebut, ujar Kamal, dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebuah ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah.
Sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya.
“Jadi, polanya menurut saya harus dirubah, jangan rampas dulu baru disidang, tetapi sidang dulu kalau terbukti baru rampas,” tegasnya.
“Dalam prakteknya, sering kali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset. Hal ini, menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak ketiga yang beriktikad baik dalam suatu perkara.”
Selain menganjurkan revolusi mental aparat penegak hukum, Kamal juga menyarankan agar KPK kembali ke khitahnya, Sebagai alat Kontrol, untuk Pencegahan dan Penindakan Korupsi pada aparat penegak hukum.
“Semangat pemikiran awal pembentukan KPK, bukan untuk tangkap bupati dengan korupsi ratusan juta, tetapi untuk Pencegahan dan Penindakan Korupsi pada APH karena APH yang profesional baru dapat mendukung UU yang ekstrim ini.” imbuhnya,
Baca juga: Jokowi Minta Kemenpan-RB Kaji Ulang Passing Grade PPPK, Banyak Tenaga Honorer yang Tak Lulus
Kamal Farza menyarankan DPR harus hati-hati dengan rencana UU ini, karena UU ini potensi melanggar konstitusi dan hak asasi manusia.
Banyak pakar hukum sebenarnya, kata Kamal, menolak atau paling tidak menganjurkan berhati-hati dalam hal perampasan aset.
“Untuk melakukan perampasan aset, tidak boleh dbebankan kegiatan ini kepada Polisi dan Jaksa dengan struktur yang ada sebagai penyidik dan penuntut umum.
Sebaiknya harus dibentuk satu komisi nasional khusus untuk itu, Komisi Penyitaan Aset atau Komisi Perampasan Aset (KPA), dengan menyiapkan SDM yang handal dan berintegritas tinggi menjalankan revolusi mental secara konsiten, supaya dalam melakukan tindakannya tidak sewenang-wenang dan salah sasaran,” ujarnya.
H. Ahmad Sahroni mengatakan, rencana penerapan UU Perampasan Aset harus benar hati-hati.
Jangan hanya berdasarkan subyektifitas, atau karena dendam semata.
Penerapan pada apa yang dirampas harus dilakukan dengan teliti.
Karena ketika seorang pejabat, yang telah punya harta yang sudah esksis, dan tiba-tiba berperkara, ketika penerapan UU itu tanpa diteliti terlebih dahulu malah dirampas semua hartanya.
“Padahal, harta tersebut tidak ada kaitan dengan perkara yang tengah menimpanya. Hal itu kan tidak bisa dibenarkan, karena mlanggar hak dan kemanusiaan," ujarnya.(*)
Baca juga: Irjen Kemendagri: BUMD Banyak Rugi, Pj Kepala Daerah Dimintai Perbaiki Sistem Bisnisnya
Baca juga: Daftar Jurusan CPNS 2023 yang Punya Preferensi dengan Formasi Prioritas Pada Rekrutmen Tahun Ini
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews
| Haul Sastrawan di UI: Semaan Puisi Padukan Doa, Sastra, dan Refleksi Kebangsaan |
|
|---|
| Sastrawan Indonesia Terbitkan Resolusi Tentang Calon Penerima Penghargaan BRICS |
|
|---|
| DSI Buka Kelas Internasional Bidang Hukum APS Bersama UNSURYA |
|
|---|
| Psikolog Keluarga Ungkap Latar Belakang Lahirnya Tepuk Sakinah |
|
|---|
| Pertamina Patra Niaga Sumbagut Awasi Pelayanan SPBU Lewat Program Pantau Bareng |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/J-Kamal-Farza.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.