Berita Nasional
Didong Dalam Trans Jakarta: Bunyi Canang dan Tepok Runcang
Perasaan kaget menyergap saat menyaksikan ruangan bus yang penuh sesak. Kamera televisi --saya menduga jumlahnya belasan --telah menyumpal ruangan.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jafaruddin
Laporan Fikar W.Eda I Jakarta
TRIBUNGAYO.COM, JAKARTA - Pertunjukan didong jalu dilakukan dalam bus Trans Jakarta, Minggu, 3 Juni 2012, pukul 14.00 WIB. Bus melaju dari stasiun PGC Cililitan menuju halte Grogol, pulang pergi.
Dua grup yang berdidong tanding dalam bus Trans Jakarta klop Singkite dari Ciputat dengan Bintang Duta dari Cibubur.
Itulah satu-satunya pertunjukan didong dalam Transjakarta, sejak perusahaan angkutan umum milik Pemerintah DKI Jakarta itu beroperasi.
Pertunjukan itu sebagai bagian tugas akhir dari mahasiswa angkatan III Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2010-2012, FIkar W.Eda.
Pembimbing Prof Sardono W Kusumo, dan Arthur S Nalan. Penguji terdiri dari Hadi Artomo, M.Sn, Merwan Yusuf, DEA, dan DR. Iwan Gunawan.
Seperti apa persiapan dan jalannya pertunjukan? Saya menceritakannya untuk Anda.
"PENUH"
Perasaan kaget menyergap saat menyaksikan ruangan bus yang penuh sesak. Kamera televisi --saya menduga jumlahnya belasan --telah menyumpal ruangan.
Baca juga: Kombes Anissullah Terima Penghargaan dari Presiden RI, Pengamat Sampaikan Hal Ini kepada Kapolri
Bus yang digunakan untuk pertunjukan adalah bus gandengan, bagian depan dijadikan ruang pertunjukan dan bagian belakang tempat penumpang dan pengunjung pertunjukan.
Tapi nyatanya, belasan kamera televisi telah menyumpal "koridor" penghubung bus bagian depan dengan gandengannya.
"Mata" kamera televisi seolah siap menerkam.
Saya kaget menyaksikan begitu banyak wartawan televisi yang meliput pertunjukan itu.
Sejak satu malam sebelum pertunjukan, saya memang mendapat banyak telepon dari stasiun televisi swasta yang mengkonfirmasikan kehadiran mereka meliput acara tersebut.
Tapi saya tidak menduga, sedemikian ramai.
Saya memang melayangkan undangan kepada beberapa stasiun televisi untuk merekam "Didong Trans Jakarta" itu.
Personil grup Bintang Duta dan Singkite ikut saling tindih dalam suasana tidak nyaman.
Lambat laun personil kedua grup itu mulai menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Situasi ini sama sekali tidak pernah saya duga sebelumnya.
Baca juga: Brigadir Eky Patra Anggana Terima Penghargaan Sebagai Bhabinkamtibmas Terbaik Polres Gayo Lues
Memang ruangan bus terlalu sempit untuk pertunjukan kesenian yang melibatkan 25 pemain sekaligus.
Bus perlahan meninggalkan stasiun Cililitan.
Suara riuh dalam bus akibat saling berdesakan, seketika senyap ketika saya membunyikan "canang," alat musik perkusi yang terbuat dari tembaga yang biasa digunakan dalam pertunjukan musik canang di Gayo.
Saya ingin memfokuskan perhatian kepada jalannya pertunjukan.
Canang adalah perkusi tembaga yang biasanya dimainkan bersama-sama dengan "memong, gong" dan "gegedem." Bentuk "canang" persis talempong di Padang atau "bonang" di Jawa.
Instrumen "canang" ini di Gayo dimainkan dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti perkawinan dan pengiring pertunjukan tari.
Dalam panggung pertunjukan didong, bunyi "canang" digunakan sebagai pengatur waktu atau tanda peralihan pertunjukan dari satu grup didong ke grup didong lawan tandingnya.
"Canang" yang saya gunakan untuk mengatur waktu pertunjukan Didong Trans Jakarta itu saya pinjam dari grup musik Denang Gajo Jakarta, berdiri di Jakarta pada 1956.Tapi grup itu sekarang sudah tidak aktif lagi.
Salah seorang tokoh Sanggar Denang Gajo Jakarta, Salim Wahab, sudah mulai uzur.
Baca juga: Boy Arnez Pemain Voli Indonesia Ikut Tampil AVC Challenge Cup 2023, Ketiduran saat Salat Idul Adha
Sementara personil lainnya, sudah almarhum.
Salim Wahab menitipkan perangkat instrumen dua buah canang kepada saya.
Suasana riuh dalam bus Trans Jakarta menjadi sedikit senyap ketika saya membunyikan "canang" berkali-kali.
Saya meminta perhatian dan memberi aba-aba pertunjukan akan dimulai.
Dalam keadaan berhimpit, saya jelaskan sedikit tentang gagasan pertunjukan dalam bus Trans Jakarta.
Bus makin menjauh meninggalkan Cililitan. Pergerakan bus membuat tubuh ikut bergerak dan karenanya harus berpegangan agar tidak terjerembab.
Saya mempersilahkan dosen pembimbing, Prof Sardono memberi pengantar.
Mas Don--begitu sapaan beliau--dan Pak Arthur S Nalan dan para penguji ternyata berada di gandengan belakang.
Baca juga: Ambisi Besar Australia Bisa Jadi Penghalang Timnas Voli Putra Indonesia di AVC Challenge Cup 2023
Dengan susah payah, Mas Don melangkah ke bagian depan setelah melewati "pagar kamera televisi."
Pak Arthur dan para penguji juga diminta pindah ke gerbong depan, untuk memudahkan bagi penguji mengamati jalannya pertunjukan.
Bersama Mas Don hadir beberapa penari internasional yang sedang mengikuti kegiatan "International Indonesian Dance Festival" di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki.
Saya sempat berkenalan dengan salah seorang sebelum pertunjukan dimulai.
Mas Don minta pengertian kameramen televisi agar memberi jalan kepada penari internasional itu untuk melangkah ke gerbong depan.
Dengan "penuh perjuangan" usaha memindahkan tamu-tamu kehormatan itupun akhirnya berhasil.
Mas Don mengakhiri sambutannya. Kendali pertunjukan ada pada saya.
Saya lalu membunyikan lagi canang tiga kali. Saya katakan, pertunjukan didong di Transjakarta saatnya dimulai.
Baca juga: Ini 30 Nama Calon Pj Bupati/Wali Kota 10 Daerah di Aceh yang Diusul Pj Gubernur ke Mendagri
Saya mempersilahkan grup Bintang Duta tampil terlebih dahulu.
Grup ini menampilkan Kabri Wali, sebagai ceh utama, dan Dasuki sebagai apit atau ceh pendamping.
Kabri dan Dasuki mengenakan kostum dengan ukiran kerawang gayo, baju adat Gayo. Personil Bintang Duta duduk di bangku, berjejeran.
Sedang lawan tandingnya, Singkite duduk dilantai, dan sebahagian lagi berdiri.
Bintang Duta membuka adegan awal didong tanding itu dengan mendendangkan puisi "Sare" dan diikuti dengan "Salam."
Saya mengintip ke luar jendela. Bus Trans Jakarta sudah melaju ke UKI dan siap berbelok ke MT Haryono. Rute bus ini adalah Cililitan - Grogol.
Selain undangan, penumpang Trans Jakarta siang itu adalah penumpang umum yang naik dan turun pada halte-halte yang disinggahi.
Terdapat 19 halte sepanjang Cililitan – Grogol.
Baca juga: Rita Zahara, TKW Aceh Terlantar di Arab Saudi, Nasir Djamil Upayakan Pemulangan ke Aceh
Suasana dalam bus mendadak riuh oleh tepukan tangan dan bantal dalam ritme tertentu.
Di sela gemuruh tepukan, mengalun suara Kabri Wali melafalkan “Saree” dan pada bagian tertentu atau refrain, diikuti secara koor oleh seluruh personil Bintang Duta dalam tempo yang sangat cepat:
SAREE
Cipt Kabri Wali/Fikar W.Eda
Dari Gayo kami datang
Berjuang di ibukota
Bertulis di papan tulis
Berbaris-baris ukir berwarna...oh ayah dan bunda
Didong Gayo dengan puitis
Rencong dan keris bersatu jiwa
Wahai saudaraku
Kudendangkan lagu tanda mulia
Mari bersama kita sejiwa
Lantunan lagu sangat indah
Pantun pepatah beragam warna
Dari tanah Gayo kesenian daerah
Dari Aceh Tengah ini didong namanya
Bujang Singkite lawan berdebat
Dari Ciputat Lebak Bulus sana
Ini Bintang Duta grup kelas berat
Awas jangan dekat kau ke kandang singa
Dalam bus way kita bertanding
Jangan kau pusing menggeleng kepala
Kalau mual-mual jangan dekat dinding
jika engkau pening minum bodrex saja
Dari Gayo kami datang
Berjuang di ibukota
Baca juga: Harga Getah Pinus di Gayo Lues Merosot Lagi
Dalam puisi “Saree” terselip sindiran kepada grup Singkite dan peringatan karena berhadapan dengan lawan berat.
”Bujang Singkite lawan berdebat
Dari Ciputat Lebak Bulus sana
Ini Bintang Duta grup kelas berat
Awas jangan dekat kau ke kandang singa.”
Selesai satu puisi. Kabri Wali dan Bintang duta melanjutkan puisi kedua berjudul “Salam.” Isinya menyapa seluruh hadirin, para pembimbing, IKJ, dan tentu saja Singkite yang menjadi lawan tanding.
SALAM
Cipt Kabri Wali/Fikar W.Eda
Assalamu’alikum kami ucapkan
Pada IKJ kami haturkan berperan acara seni
Para pembimbing yang kami muliakan
Serta rombongan di segala segi
Bapak Sardono dan Bapak Arthur S Nalan
Yang mengarahkan di acara ini
Selanjutnya salam tidak lupa
Dari kami grup Bintang Duta
Transjakarta sekali lagi
Jangan dikebut pelan-pelan saja
Di jalan raya harap hati-hati
Bujang Singkite dia tak biasa
Nanti dia lewat jendela dia lompat tinggi
Salam-salam pada lawanku
Sekian lama tidak bertemu
Hatiku rindu selama ini
Kita berdidong sambil bis melintas
Kelihatan monas dari sini
AC-nya dingin jangan minta pas
Pindah ke atas kau duduk sendiri
Salam-salam dari Bintang Duta
Pada semua yang hadir di sini
Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Lengking Jalan Malaka Cibubur
Dua puisi selesai didendangkan. Saya membunyikan canang sebagai peralihan kesempatan dan mempersilakan grup Singkite sebagai penampil berikutnya.
Personil Bintang Duta turun, duduk di lantai, giliran Singkite duduk di bangku.
Singkite mengawali penampilannya dengan didong pembuka berupa “Persalaman” sebagai berikut:
PERSALAMAN
Cipt: Ceh Aris/ Kamal Basri/Fikar W.Eda
Assalamu’alikum salam dari kami
Kita berseni dalam Trans Jakarta
Ini didong dari Gayo asli
Suatu provinsi Aceh namanya
Kami diundang ke tempat ini
Mengembangkan seni atau budaya
Terima kasih kepada pemerhati
Sahabat kami abang Fikar W Eda
Abang Fikar W Eda dari Serambi
Akan menjadi IKJ S2
Dia kuliah di Taman Ismail Marzuki
Dibidang seni dan budaya
Kepada Prof Sardono W Kusumo
Kami ucapkan monggo dalam Trans Jakarta
Assalamualaikum
Sambutlah senyum
Salam dari Singkite
Kami hormati bapak Arthur S Nalan
Kami perkenalkan bapak bertiga
Mungkin kami salah mohon dimaafkan
Kepada handai tolan dan hadirin semua
Bapak Dr Iwan Gunawan direktur S2
Sudah sepadan pasca sarjana
Kampus IKJ mulai mapan
Bidang kesenian terkenal di Jakarta
Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Beli Dua Tiket Dengan Kabri Wali
Persalaman adalah salam pembuka. Berisi penghormatan dan penghargaan kepada lawan tanding, kepada penonton, kepada penyelenggara dan sebagainya.
Singkite dengan ceh Kamal Basri lalu melanjutkan dengan puisi didong berjudul “Sopir” atau “Pengemudi."
Puisi ini berisi sindiran kepada Kabri Wali dan grup Bintang Duda, yang dilukiskan sebagai sopir atau pengemudi di ibukota.
SOPIR ATAU PENGEMUDI
Cipt Aris/Kamal Basri
Ini budaya budaya asli
Budaya Betawi di ibukota
Supaya saudara dapat mengerti
Didong ini berbahasa Indonesia
Kami bertanding dengan Kabri Wali
Di Jakarta ini grup Bintang Duta
Kami Singkite dari Ciputat ini
Akan diuji berseni suara
Salam-salam dari kami
Kami berseni di Trans Jakarta
Cerita kedua kami mulai
nasib pengemudi sopir namanya
Dia berangkat pagi sekali
Mewncari rezeki di ibukota
Kita sopir harus hati-hati
Sopir Metromini atau Kopaja
Jangan ngebut kalau mengemudi
Pada Allahurabbi kita berdoa
Cerita ketiga bagi pengemudi
Pakai dasi dalam bis kota
Jas dipakai hebat sekali
Itu pengemudi Trans Jakarta
Mobil busway jalannya sendiri
Mobil pribadi lain jalurnya
Ada polisi berjaga-jaga
Ada lagi angkutan namanya damri
Wara wiri jalan ke bandara
Dari terminal di Jakarta ini
Setiap hari banyak penumpangnya
Bujang Singkite wajahnya berseri
Dari relung hati kami berkata-kata
Semua sopir atau pengemudi
Nasib kita memang berbeda
Ada istilah dari orang sini
Kita-kita ini harus bersama
Kejamnya ibukota lebih kejam ibu tiri
Pepatah ini hanya umpama
Trans Jakarta patut kita puji
Teratur sekali semua armada
Sopirnya ganteng gagah sekali
Mirip sekali pilot Garuda
Salam-salam dari kami
Kami berseni di Trans Jakarta
Baca juga: Pj Bupati Aceh Tengah Serahkan Sembako untuk Keluarga Anak Stunting di Timangan Gading
Selanjut giliran Bintang Duta tampil lagi. Mereka ingin membalas sindiran Singkite dengan mendendangkan puisi “Jakarta Macetnya Jakarta,” yang mengabarkan tentang situasi lalu lintas Ibukota.
Sambil melukiskan keadaan macetnya jakarta, Bintang Duta menyelipkan sindiran-sindiran halus untuk untuk menjatuhkan Singkite. Puisi tersebut lengkapnya berbunyi:
JAKARTA MACETNYA JAKARTA
Cipt Kabri Wali
Jakarta jalannya macet
Mobil motor sudah berdempet
Banyak yang keserempet
Sampai lecet kaki dan muka kita
Masuk rumah sakit
Dijahit yang luka-luka
Singkite orangnya susah
Menerobos lampu merah
Ban motor pecah
Di tengah jalan raya
Polisi marah-marah
Karena salah tarik tiga
Jakarta macetnya Jakarta
Jalan sering tersendat
Singkite tak bisa lewat
Pergi dari Ciputat
Ke pasar Jumat belanja
Kakak penyakit kumat
Karena obat lambat tiba
Jakarta macetnya Jakarta
Penduduk makin banyak
Kendaraan tinggi melonjak
Singkite habis minyak
Dia kejebak di Kalibata, dia
Dorong di jalan rusak
Kena tabrak sama vespa
Jakarta macetnya Jakarta
Jakarta gue pun bingung
Bising kagak ketulung
Lewat daerah Serpong
Ke Tangerang luar biasa, sana
Singkite kenalpot bolong
Masuk lorong di kejar warga
Jakarta macetnya Jakarta
Siang aku pun salut
Banyak tabrakan maut
Motor tak pernah surut
Mobil angkot dan bis kota
Malam kami ngebut,
Di Daan Mogot tutup mata
Jakarta macetnya Jakarta
Baca juga: Dito Ariotedjo Menpora Siap Penuhi Panggilan Kejaksaan Agung, Berikut Kasusnya
Grup Bintang Duta melanjutkan puisi ke empat, berjudul “Rencong.” Ini merupakan puisi yang saya tulis dalam format puisi modern, tapi dibawakan dengan cara didong.
Puisi tersebut berisi muatan politis, dimana Jakarta sebagai pusat kekuasaan telah memberangus “kemerdekaan” masyarakat di daerah-daerah, seperti Aceh.
Khusus puisi “Rencong” saya sendiri ikut membacakannya dengan iringan tepuk didong.
RENCONG
Cipt Fikar W.Eda
siapa saja yang datang
kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan
pertanda kemuliaan
siapa saja yang datang
kami kalungi bunga
salam sepuluh jari
menjadi sebelas dengan kepala
siapa saja yang datang
kami hadiahi gelar
sebagai saudara
dan penghormatan
berbilah-bilah rencong
dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan
pertanda martabat
dan keagungan
betapa pedih hati kami
dari Jakarta
kalian hujamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami!
Baca juga: Hari Bhayangkara Meriah di Aceh Tengah, Pj Bupati Suapi Tumpeng ke Polisi Tertua dan Termuda
Jakarta, 1998
Tanding puisi tidak berhenti di situ. Kini giliran Grup Singkite yang tampil.
Ceh Kamal Basri langsung mendendangkan puisi berjudul “Rumah Renyot” yangs ecara tajam menyindir ceh Kabri Wali.
Puisi ini terdengar meriah karena pada bagian-bagian tertentu diikuti secara koor oleh seluruh personil Singkite.
RUMAH REYOT
Cipt Kamal Basri
Hutan-hutan ditebangi
Rumah sendiri sudah reyot
Sudah bimbang Kabri Wali
Tinggal sendiri di Merodot
Set set sot abang onot 2x
Baru datang dari tembuni
Kulihat pipi sudah peyot
Aduh kasihan kabri Wali
Di depan tivi mata melotot
Set set sot abang onot 2x
Jalan –jalan ke Slipi
Metromini sudah terot
Kami lihat win Kabri
Dikejar polisi celana melorot
Setsetsot abang onot 2x
Apa kabar Kabri Wali
Tinggal sendiri di Merodot
Ceh bantuan abang Dasuki
Dari Sukabumi jalan repot
Bawa oleh-oleh untuk Kabri Wali
Daun sawi sama duren peyot
Setsetsot abang onot 2x
Bintang Duta tidak mandiri
Seperti bayi habis ngedot
Karena ditinggal Kabri Wali
Bintang Duta ini jadi merosot
Setsetsot abang onot 2 x
Datang berdidong ramai sekali
Ke Jakarta ini datang bererot
Calon istri sudah peyot
Setsetsot abang onot 2x
Baca juga: Puisi dari Tanah Gayo: Cara Menanam Kopi dalam Didong Sidang Temas
Puisi berikutnya berjudul “Matahari Kuning Tugus Monas,” puisi yang saya tulis sebagai sindirian kepada pengusaha negara yang gemar menimbun hutang.
Puisi ini saya bacakan dalam iringan didong Singkite.
Tapi sebelumnya, puisi ini disuarakan terlebih dahulu oleh Ceh Kamal Basri dengan cara pepongoten¸ yaitu untaian kata-kata yang dibawakan dalam bentuk tangisan.
Dalam bahasa Gayo, pepongoten, berarti tangisan.
MATAHARI KUNING TUGU MONAS
Cipt Fikar W.Eda
Matahari kuning tugu monas
Jatuh di ukiran batu
Memantulkan bayang sengsara
Wajah republik tukang hutang
Soekarno, hutang
Soeharto, hutang
Habibie, hutang
Gus Dur, hutang
Megawati. Hutang
SBY, lanjutkan hutang
Bayang sengsara di ukiran batu makin kentara
Jutaan wajah bertekuk di lutut donor
Inilah negeri penuh hutang
Kencing, hutang
Sperma, hutang
Tol, hutang
Kondominium, hutang
Jembatan, hutang
Jalan layang, hutang
O negeri subur
Tanah gembur
Makmur dengan hutang
Hutang di tanah pertanaian
Hutang di ladang gas dan minyak
Hutang di bursa saham
Tawa, hutang
Tangis, hutang,
Manula, hutang
Balita, hutang
Hidup, hutang
Mati, hutang!!!
Di bawah matahari kuning tugu monas
Mereka mengetuk palu
Tentang besaran hutang
Yang dilunasi
tanpa kesudahan
Baca juga: BRI Liga 1 2023/2024 Dewa United vs Arema FC, Prediksi Pertandingan, Preview Tim, dan Susunan Pemain
Bali-Jakarta, 2009-2011
Tanpa terasa sudah delapan puisi yang didendangkan oleh kedua grup.
Bus Trans Jakarta telah memutar tubuhnya dan berjalan kembali menuju terminal Cililitan.
Semula direncanakan, ada 20 puisi yang dibawakan oleh kedua grup tersebut.
Tapi tampaknya tidak cukup waktu untuk menuntaskan seluruh puisi. Rupanya durasi 2 jam, terlalu singkat untuk sebuah pertunjukan didong.
Alhasil pada pertunjukan itu, masing-masing grup hanya punya waktu mendendangkan enam puisi. Di penghujung pertunjukan, ke dua grup didong, Singkite dan Bintang Duta melakukan didong bersama sambil berjalan ke gerbong belakang.
Ini menandakan bahwa pertunjukan didong tetap menjaga kebersamaan, meskipun sebelumnya kedua grup melakukan “perang syair” dengan sindiran-sindiran tajam.
Saya membagi penampilan masing-masing grup dengan dua puisi berturut-turut.
Artinya tiap dua puisi dilakukan pergantian grup penampil.
Baca juga: Putra Aceh Kombes Anissullah Raih Penghargaan Bintang Bhayangkara Nararya dari Presiden Jokowi
Begitu seterusnya sampai bus Trans Jakarta tiba di Grogol dan kembali lagi ke stasiun PGC Cililitan.
Pergantian penampil, saya tandai dengan membunyikan canang yang saya gantung di leher.
Masing-masing grup sudah paham, apabila terdengar bunyi canang, itu artinya tanda pergantian pertunjukan.
Pertunjukan didong di Transjakarta itu mengambil bentuk pertunjukan didong tanding atau “didong jalu” sebagaimana yang terjadi di tanah asal.
Hanya saja dalam pertunjukan di Trans Jakarta, seluruh puisi disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan tema tunggal “Jakarta.”
Ini adalah satu-satu pertunjukan didong tanding yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia dimaksudkan agar untaian puisi didong dipahami oleh publik umum, namun tetap mempertahankan pola rima didong.
Sebelum menutup pertunjukan dan bus kembali ke stasiun Cililitan, saya menjelaskan kepada penumpang Trans Jakarta, bahwa begitulah hakikat kesenian didong.
Baca juga: Musara Gayo dan PAS Bantu Pemulangan Jenazah Warga Bener Meriah yang Meninggal di Jakarta ke Aceh
Selalu diakhiri dengan perdamaian.
Didong adalah jenis kesenian bersifat kompetitif karena dilakukan dalam format pertandingan.
Meskipun pemenang sebuah pertandingan didong sulit ditentukan, dan biasanya pemenangnya diserahkan kepada masing-masing penonton untuk menilai, mana grup yang puisinya lebih mengena.
Di Gayo, sebuah grup didong mewakili harga diri sebuah komunitas kampung atau desa.
Saya katakan, mungkin itulah sebabnya di Gayo tidak ditemui adanya peristiwa tawuran antar kampung, sebab seluruh semangat konflik sudah dialirkan melalui puisi dalam pertunjukan didong.
Barangkali ini bisa diterapkan di Jakarta. Masing-masing kelurahan dilatih berdidong dan ditampilkan dalam suatu pertunjukan.
Barangkali saja, dengan cara begitu, bisa menghindari warga Jakarta dari tawuran yang kerap terjadi.
Baca juga: Bangkit dari Gempa Ketol Aceh Tengah, Kini Desa Bah Kembangkan Wisata Air Sungai dan Bentangan Sawah
Termasuk juga tawuran antar sekolah dan mahasiswa.
Kepada anggota DPR Nasir Djamil saya sarankan untuk memanfaatkan didong masuk Senayan.(*)
Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews
Trans Jakarta
Cibubur
berdidong
puisi
berita tribun gayo hari ini
Didong Runcang
Canang
sanggar
Jakarta
Tim Penggagas Gayo Alas Mountain Internasional Festival Fachrulsyah Mega Meninggal Dunia |
![]() |
---|
Musara Gayo akan Gelar Upacara Pengibaran Bendera di Jakarta Timur, Peserta Kenakan Kerawang Gayo |
![]() |
---|
Ketua KP2 ALA Meriahkan Perayaan Hari Didong 2025 di HB Jassin Jakarta |
![]() |
---|
Penyair dan Deklamator Indonesia Rayakan Hari Didong di PDS HB Jassin TIM Jakarta |
![]() |
---|
Lima Rekomendasi Penting Lahir dari Rakernas Evaluasi Haji 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.