Kupi Senye
Wisata Tanpa Plastik
Bur Klieten mewakili wisata alam bebas yang butuh kesiapan dan keterampilan. Sedangkan jambore hanya wisata rekreasi untuk semua kalangan.
Oleh: Isma Arsyani ST MT *)
Akhir 2020 saya bersama dengan teman-teman yang dulu pernah mengecap unit kegiatan mahasiswa pencinta alam mendaki gunung Bur Klieten.
Bur yang menjadi ornamen lanskap Danau Laut Tawar di wilayah selatan atau tenggara. Usia kami saat itu bervariasi, yang pasti paling muda usia 40-an.
Kami mendaki dari kaki Klieten via Bewang. Berangkat dari posko sekitar pukul 10.00 pagi.
Ditemani kawan-kawan anak muda Bewang, yang baru saja ikut lomba lintas alam sepekan sebelumnya di Bener Meriah (bisa dibayangkan fisik mereka yang on fire), sekaligus sebagai pemandu, nafas dan langkah kami betolak belakang dengan mereka.
Mereka seakan tak habis nafas. Berjalan ibarat berlari. Maklum usia 40 adalah usia minimal kami saat itu.
Alhamdulillah dengan tertatih namun masih punya mental untuk submit, kami tiba di tempat nge-camp menjelang maghrib.
Di hutan tropis, menjelang maghrib sudah pasti keadaan sudah gelap. Jadi bermodalkan senter tangan kami mencari tempat untuk dirikan tenda.
Saya termasuk persona awal tiba di lapangan Kemah. Namun apa lacur, sebuah pemandangan yang mengejutkan.
Walau sudah gelap, terlihat tumpukan sampah plastik. Tumpukan tak hanya di satu titik. Namun tumpukan itu menyebar.
Ini membuat saya dan beberapa kawan menghela napas terkejut, kecewa, juga campur marah. Maklum, sudah seperti pembuangan akhir.
13 bulan setelah cerita di atas , di sisi seberang selatan Bur Klieten, unit kegiatan yang disebut di atas melaksanakan kegiatan jambore, kumpul dengan bayak kemah.
Saat itu kami memilih Ujung Pasir di Merodot sebagai lokasi rihlah ini. Koordinator jambore saat itu jauh- jauh hari menegaskan jambore ini meminimalisir penggunaan plastik sebagai media konsumsi.
Setiap individu atau keluarga wajib membawa dan menggunakan tumbler atau botol minuman. Tak ada kardus berisi air kemasan baik berbentuk gelas dan botol.
Pun yang lain dengan makanan atau snack. Jikalau pun ada, jangan buang sembarangan. Seruan koordinator disambut biasa.
Maksudnya, semua faham, gak banyak tanya, langsung aksi. Semua sudah terbiasa.
Hasilnya, tak banyak sampah plastik bekas konsumsi dan sampah yang ada setelah selesai, sudah masuk kantung siap diangkat oleh petugas kebersihan.
Dua fenomena yang berlawanan. Namun saling berhubungan karena berada di titik wisata.
Bur Klieten mewakili wisata alam bebas yang butuh kesiapan dan keterampilan. Sedangkan jambore hanya wisata rekreasi untuk semua kalangan, balita hingga lansia.
Titik wisata yang menjadi magnet adalah Danau Lut Tawar.
Sampah plastik menjadi isu nasional. Kalau tak boleh dibilang: masalah nasional. Bayangkan di rubrik Kolom Majalah Tempo 12 Meu 2024, Bung Muhammad Reza Cordova, peneliti BRIN menyatakan bahwa sampah plastik Indonesia sudah mulai berlayar tanpa batas hingga Maladewa, Seychelles lalu tiba juga di Madagaskar.
Bayangkan mereka berlayar ke benua Afrika menyamai “nenek moyang yang pelaut”. Ya, sampah itu berlayar via laut, liwat Samudea Hindia. Ya, kita di Gayo mungkin tak bertepatan laut.
Tapi apakah sampah kita termasuk di dalamnya? Allah A’Lam, bisa saja, why? Pas kita melancong ke Bireuen atau ke Meulaboh.
Ada sampah kita terbuang fi laut dan berlayar bersama sampah dari selatan Indonesia. Allahu Mustaan.
Kembali ke paragraf sebelum paragraf di atas. Mengapa titik tinjauan adalah Danau Laut Tawar (DLT).
Karena DLT, lima tahun terakhir ini sangat ramai dikunjungi dan menjadi titik panggil wisatawan regional dari Kabupaten tetangga. Bukan dari Bener Meriah atau Gayo Lues sahaja.
Namun nomor posisi dengan seri Z, N, P, W, dan lainnya, bahkan seri J/A juga menjadikan DLT sebagai titik panas sebelum mengeksplorasi titik wisata lain di Aceh Tengah dan sekitarnya.
Titik wisata, kemungkinan besar akan didiami pengunjung sesaat atau bisa saja dia bermalam karena telah adanya kemah, bungalows, serta glamping, atau rumah wisata lainnya yang menjadi unggulan masing-masing spot.
Lama tidaknya kita rihlah menikmati danau dan titik wisata lain. Pasti ada logistik yang menjadi penunjang nikmatnya lancong kita. Salah satunya pasti sampah plastik.
Saya yakin sebenarnya beberapa titik wisata sudah berupaya untuk meminimalisir sampah di lokasi yang dikelola.
Hanya saja saat ini, jamak kita lihat di sepanjang sisi danau dan di sepanjang jalan, sampah plastik menjadi pemandangan umum. Pemandangan ini mungkin belum mengganggu saat ini.
Namun bila tak hirau akan hal ini, di kemudian hari bukan tak mungkin akan jadi telaga plastik, Naudzubillah.
Solusi Dari Dini
“…Inna Allaha Jamiil, yuhibbul jamal” sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan mencintai keindahan.
Penggalan hadits ini sebenarnya bisa menjadi dalil, basis, atau dalih bahwa sebagai muslim kita harus implementasikan keindahan di manapun berada.
Pengalaman saya yang disebut di awal tulisan menyimpulkan bahwa memulai kebersihan itu mudah asal sudah dipatri sejak dini.
Edukasi sejak dini kepada anak merupakan hal yang efektif sekaligus efisien bagaimana menerangkan bahwa sampah itu ada tempatnya.
Sampah bukan material yang bisa berserak di mana pun kita mau. Namun dia ada tempat khusus untuk dikumpulkan, diolah, dan diurai bila memang perlu diurai.
Sampah, bila tak ditampung di tempatnya hanya akan menimbulkan bau, penyakit, dan konflik.
Edukasi dini sejak dari keluarga adalah tarbiah yang etik yang Insya Allah akan terimplementasi hingga anak-anak tumbuh dewasa.
Ini lah etik yang hakiki daripada kita larut masalah “etik” sejak Oktober 2023 lalu. Apalagi tak etik tentu saat DLT didaulat sebagai danau terkotor di dunia karena menyumbang plastik hingga Maladewa.
Kedua, memberikan insentif kepada desa atau kampung yang berhasil atau berusaha menggelar program dan kegiatan sadar sampah.
Baik menanggulangi sampah di lapangan maupun membuat sampah plastik yang bisa didaur menjadi uang.
Contohnya bank sampah yang dikelola badan usaha milik kampung (bumk). Insentif ini keniscayaan bagi pemerintah kabupaten untuk menumbuhkan sadar sampah di tingkat kampung hingga Kecamatan.
Bila perlu ada even tahunan untuk menggelar kampung bersih di wilayah wisata maupun non wisata.
Bila pun pemkab tak sanggup bisa mengusahakan ke kementerian terkait agar diberikan alokasi khusus untuk Kabupaten agar disalurkan ke kampung yang berhasil.
Ketiga, Sinergi pengelola wisata, ormas, LSM, akademisi, pemerintah, dan masyarakat bagaimana mewujudkan DLT sebagai destinasi wisata yang bebas sampah.
Terutama sampah plastik. Ini menjadi daya pikat tersendiri. Memang sekarang secara zahir mata, turis ke DLT dan sekitarnya adalah turis lokal yang segmennya menengah ke bawah.
Namun bila berhasil mewujudkan DLT adalah spot no plastic. Bukan tak mungkin Kementerian mau mengadakan rapat di Takengen. Tak hanya di Bali atau Brastagi.
Ini tak berhasil dalam satu atau dua tahun, pasti. Namun akan berhasil bila dimulai. DLT sendiri sebenarnya sudah memiliki Forum Danau Laut Tawar (FDLT).
Ke depan, harapan kita FDLT bisa kembali membuka jendela agar terlihat DLT akan berubah lanskapnya bila tak terus dibahas.
FDLT Bicara- bicara saja tak apa juga, dibandingkan hanya duduk tanpa tahu kapan buka jendela. Khawatir saat buka jendela nanti, DLT tak lagi teras rumah yang berbau romansa namun sudah dipenuhi kano berbentuk plastik.
Keempat, tentu saja regulasi. Tak kan ada sesuatu akan berhasil tanpa regulasi. Regulasi selain payung juga merupakan road dan map agar semua pelaksanaan terarah dan terukur.
Setiap sektor akan tahu apa tugas diri. Setiap satuan kerja akan paham bagaimana menjalankan dan menginfiltrasi fungsinya.
Fakta, memang regulasi hanya menjadi tinta hitam di atas kertas yang dipajang di sudut-sudut negeri tapa mau sadar akan mau berubah.
Namun tanpa regulasi ibarat motor dan mobil tanpa bahan bakar dan supir. Tak akan jalan. Walakin, lema “regulasi” mungkin bisa diperhalus bahasa dan namanya agar lebih memasyarakat dan menyentuh kepentingan masyarakat dan orang banyak serta lingkungannya.
Wisata tanpa plastik adalah keniscayaan saat ini. Mulai sekarang, juga keniscayaan.
Semoga pemandu Bur Klieten saat ini tak lagi harus sapu jagat untuk bersihin sampah plastik di ketinggian 2000-an mdpl.
Hek woi…
*) Penulis adalah ASN Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Bener Meriah
KUPI SENYE adalah rubrik opini pembaca TribunGayo.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Kupi Senye
Bur Klieten
wisata
Aceh Tengah
Takengon
Bener Meriah
Redelong
Opini Tribun Gayo
TribunGayo.com
| Peran Baitul Mal Aceh Tengah dalam Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Kampung Keramat Mupakat |
|
|---|
| Tataniaga Kopi yang Manusiawi untuk Menyelamatkan Ekonomi Rakyat Gayo |
|
|---|
| Pasar Handicraft Gayo: Membangun Pusat Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Aceh Tengah |
|
|---|
| Air Mata di Balik Senyuman Seorang Guru |
|
|---|
| Menjaga Spirit Ibadah di Usia Senja: Hikmah Wudhu dan Shalat bagi Kesehatan Jasmani dan Ruhani |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/ISMA-WEN-PENULIS-OPINI.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.