Berita Nasional

Didong Dalam Trans Jakarta: Bunyi Canang dan Tepok Runcang 

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Jafaruddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana pertunjukan dalam Trans Jakarta

Bintang Duta membuka adegan awal didong tanding itu dengan mendendangkan puisi "Sare" dan diikuti dengan "Salam."

Saya mengintip ke luar jendela. Bus Trans Jakarta sudah melaju ke UKI dan siap berbelok ke MT Haryono. Rute bus ini adalah Cililitan - Grogol.

Selain undangan, penumpang Trans Jakarta siang itu adalah penumpang umum yang naik dan turun pada halte-halte yang disinggahi.

Terdapat 19 halte sepanjang Cililitan – Grogol.

Baca juga: Rita Zahara, TKW Aceh Terlantar di Arab Saudi, Nasir Djamil Upayakan Pemulangan ke Aceh

Suasana dalam bus mendadak riuh oleh tepukan tangan dan bantal dalam ritme tertentu.

Di sela gemuruh tepukan, mengalun suara Kabri Wali melafalkan   “Saree” dan pada bagian tertentu atau refrain, diikuti secara koor oleh seluruh personil Bintang Duta dalam tempo yang sangat cepat:

SAREE
Cipt Kabri Wali/Fikar W.Eda

Dari Gayo kami datang
Berjuang di ibukota
Bertulis di papan tulis
Berbaris-baris ukir berwarna...oh ayah dan bunda
Didong Gayo dengan puitis
Rencong dan keris bersatu jiwa

Wahai saudaraku
Kudendangkan lagu tanda mulia
Mari bersama kita sejiwa

Lantunan lagu sangat indah
Pantun pepatah beragam warna
Dari tanah Gayo kesenian daerah
Dari Aceh Tengah ini didong namanya

Bujang Singkite lawan berdebat
Dari Ciputat Lebak Bulus sana
Ini Bintang Duta grup kelas berat
Awas jangan dekat kau ke kandang singa

Dalam bus way kita bertanding
Jangan kau pusing menggeleng kepala
Kalau mual-mual jangan dekat dinding
jika engkau pening minum bodrex saja

Dari Gayo kami datang
Berjuang di ibukota

Baca juga: Harga Getah Pinus di Gayo Lues Merosot Lagi

Dalam puisi “Saree” terselip sindiran kepada grup Singkite dan peringatan karena berhadapan dengan lawan berat.

”Bujang Singkite lawan berdebat
Dari Ciputat Lebak Bulus sana
Ini Bintang Duta grup kelas berat
Awas jangan dekat kau ke kandang singa.”

Selesai satu puisi. Kabri Wali dan Bintang duta melanjutkan puisi kedua berjudul “Salam.” Isinya menyapa seluruh hadirin, para pembimbing, IKJ, dan tentu saja Singkite yang menjadi lawan tanding.

SALAM

Cipt Kabri Wali/Fikar W.Eda

Assalamu’alikum kami ucapkan
Pada IKJ kami haturkan berperan acara seni
Para pembimbing yang kami muliakan
Serta rombongan di segala segi
Bapak Sardono dan Bapak Arthur S Nalan
Yang mengarahkan di acara ini

Selanjutnya salam tidak lupa
Dari kami grup Bintang Duta
Transjakarta sekali lagi
Jangan dikebut pelan-pelan saja
Di jalan raya harap hati-hati
Bujang Singkite dia tak biasa
Nanti dia lewat jendela dia lompat tinggi

Salam-salam pada lawanku
Sekian lama tidak bertemu
Hatiku rindu selama ini

Kita berdidong sambil bis melintas
Kelihatan monas dari sini
AC-nya dingin jangan minta pas
Pindah ke atas kau duduk sendiri

Salam-salam dari Bintang Duta
Pada semua yang hadir di sini

Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Lengking Jalan Malaka Cibubur

Dua puisi selesai didendangkan. Saya membunyikan canang sebagai peralihan kesempatan dan mempersilakan grup Singkite sebagai penampil berikutnya.

Personil  Bintang Duta turun, duduk di lantai, giliran  Singkite duduk di bangku.

Singkite  mengawali penampilannya dengan didong pembuka berupa “Persalaman” sebagai berikut:

PERSALAMAN

Cipt: Ceh Aris/ Kamal Basri/Fikar W.Eda

Assalamu’alikum salam dari kami
Kita berseni dalam Trans Jakarta
Ini didong dari Gayo asli
Suatu provinsi Aceh namanya

Kami diundang ke tempat ini
Mengembangkan seni atau budaya
Terima kasih kepada pemerhati
Sahabat kami abang Fikar W Eda

Abang Fikar W Eda dari Serambi
Akan menjadi IKJ S2
Dia kuliah di Taman Ismail Marzuki
Dibidang seni dan budaya

Kepada Prof Sardono W Kusumo
Kami ucapkan monggo dalam Trans Jakarta

Assalamualaikum
Sambutlah senyum
Salam dari Singkite

Kami hormati bapak Arthur S Nalan
Kami perkenalkan  bapak bertiga
Mungkin kami salah mohon dimaafkan
Kepada handai tolan dan hadirin semua

Bapak Dr Iwan Gunawan direktur S2
Sudah sepadan pasca sarjana
Kampus IKJ mulai mapan
Bidang kesenian terkenal di Jakarta

Baca juga: Didong Dalam Trans Jakarta: Beli Dua Tiket Dengan Kabri Wali

Persalaman adalah salam pembuka. Berisi penghormatan dan penghargaan kepada lawan tanding, kepada penonton, kepada penyelenggara dan sebagainya.

Singkite dengan ceh Kamal Basri lalu melanjutkan dengan puisi didong berjudul “Sopir” atau “Pengemudi."

Puisi ini berisi sindiran kepada Kabri Wali dan grup Bintang Duda, yang dilukiskan sebagai sopir atau pengemudi di ibukota.

SOPIR ATAU PENGEMUDI
Cipt  Aris/Kamal Basri

Ini budaya budaya asli
Budaya Betawi di ibukota
Supaya saudara dapat mengerti
Didong ini berbahasa Indonesia

Kami bertanding dengan Kabri Wali
Di Jakarta ini grup Bintang Duta
Kami Singkite dari Ciputat ini
Akan diuji berseni suara

Salam-salam dari kami
Kami berseni di Trans Jakarta

Cerita kedua kami mulai
nasib pengemudi sopir namanya
Dia berangkat pagi sekali
Mewncari rezeki di ibukota

Kita sopir harus hati-hati
Sopir Metromini atau Kopaja
Jangan ngebut kalau mengemudi
Pada Allahurabbi kita berdoa

Cerita ketiga bagi pengemudi
Pakai dasi dalam bis kota
Jas dipakai hebat sekali
Itu pengemudi Trans Jakarta

Mobil busway jalannya sendiri
Mobil pribadi lain jalurnya
Ada polisi berjaga-jaga

Ada lagi angkutan namanya damri
Wara wiri jalan ke bandara
Dari terminal di Jakarta ini
Setiap hari banyak penumpangnya

Bujang Singkite wajahnya berseri
Dari relung hati kami berkata-kata
Semua sopir atau  pengemudi
Nasib kita memang berbeda

Ada istilah dari orang sini
Kita-kita ini harus bersama
Kejamnya ibukota lebih kejam ibu tiri
Pepatah ini hanya umpama

Trans Jakarta patut kita puji
Teratur sekali semua armada
Sopirnya ganteng gagah sekali
Mirip sekali pilot Garuda

Salam-salam dari kami
Kami berseni di Trans Jakarta

Baca juga: Pj Bupati Aceh Tengah Serahkan Sembako untuk Keluarga Anak Stunting di Timangan Gading

Selanjut giliran Bintang Duta tampil lagi. Mereka ingin membalas sindiran Singkite dengan mendendangkan puisi “Jakarta Macetnya Jakarta,” yang mengabarkan tentang situasi lalu lintas Ibukota.

Sambil melukiskan keadaan macetnya jakarta, Bintang Duta menyelipkan sindiran-sindiran halus untuk untuk menjatuhkan Singkite. Puisi  tersebut lengkapnya berbunyi:

JAKARTA MACETNYA JAKARTA
Cipt Kabri Wali

Jakarta jalannya macet
Mobil motor sudah berdempet
Banyak yang keserempet
Sampai lecet kaki dan muka kita
Masuk rumah sakit
Dijahit yang luka-luka

Singkite orangnya susah
Menerobos lampu merah
Ban motor pecah
Di tengah jalan raya
Polisi marah-marah
Karena salah tarik tiga
Jakarta macetnya Jakarta

Jalan sering tersendat
Singkite tak bisa lewat
Pergi  dari Ciputat
Ke pasar Jumat belanja
Kakak penyakit kumat
Karena obat lambat tiba
Jakarta macetnya Jakarta

Penduduk makin banyak
Kendaraan tinggi melonjak
Singkite habis minyak
Dia kejebak di Kalibata, dia
Dorong di jalan rusak
Kena tabrak sama vespa
Jakarta macetnya Jakarta

Jakarta gue pun bingung
Bising kagak ketulung

Lewat daerah Serpong
Ke Tangerang luar biasa, sana
Singkite kenalpot bolong
Masuk lorong di kejar warga
Jakarta macetnya Jakarta

Siang aku pun salut
Banyak tabrakan maut
Motor tak pernah surut
Mobil angkot dan bis kota
Malam kami ngebut,
Di Daan Mogot tutup mata
Jakarta macetnya Jakarta

Baca juga: Dito Ariotedjo Menpora Siap Penuhi Panggilan Kejaksaan Agung, Berikut Kasusnya

Grup Bintang Duta melanjutkan puisi ke empat, berjudul “Rencong.” Ini merupakan puisi yang saya tulis dalam format puisi modern, tapi dibawakan dengan cara didong.

Puisi tersebut berisi muatan politis, dimana Jakarta sebagai pusat kekuasaan telah memberangus “kemerdekaan” masyarakat di daerah-daerah, seperti Aceh.

Khusus puisi “Rencong” saya sendiri ikut membacakannya dengan iringan tepuk didong.


RENCONG
Cipt Fikar W.Eda

siapa saja yang datang
kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan
pertanda kemuliaan

siapa saja yang datang
kami kalungi bunga
salam sepuluh jari
menjadi sebelas dengan kepala

siapa saja yang datang
kami hadiahi gelar
sebagai saudara
dan penghormatan

berbilah-bilah rencong
dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan
pertanda martabat
dan keagungan

betapa pedih hati kami
dari Jakarta
kalian hujamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami!

Baca juga: Hari Bhayangkara Meriah di Aceh Tengah, Pj Bupati Suapi Tumpeng ke Polisi Tertua dan Termuda

Jakarta, 1998

Tanding puisi tidak berhenti di situ. Kini giliran Grup Singkite yang tampil.

Ceh Kamal Basri langsung mendendangkan puisi berjudul “Rumah Renyot” yangs ecara tajam menyindir ceh Kabri Wali.

Puisi ini terdengar meriah karena pada bagian-bagian tertentu diikuti secara koor oleh seluruh personil Singkite.

RUMAH REYOT
Cipt Kamal Basri

Hutan-hutan ditebangi
Rumah sendiri sudah reyot
Sudah bimbang Kabri Wali
Tinggal sendiri di Merodot
Set set sot abang onot 2x

Baru datang dari tembuni
Kulihat pipi sudah peyot
Aduh kasihan kabri Wali
Di depan tivi mata melotot
Set set sot abang onot 2x

Jalan –jalan ke Slipi
Metromini sudah terot
Kami lihat win Kabri
Dikejar polisi celana melorot
Setsetsot abang onot 2x

Apa kabar Kabri Wali
Tinggal sendiri di Merodot

Ceh bantuan abang Dasuki
Dari Sukabumi jalan repot
Bawa oleh-oleh untuk Kabri Wali
Daun sawi sama duren peyot
Setsetsot abang onot 2x

Bintang Duta tidak mandiri
Seperti bayi habis ngedot
Karena ditinggal Kabri Wali
Bintang Duta ini jadi merosot
Setsetsot abang onot 2 x

Datang berdidong ramai sekali
Ke Jakarta ini datang bererot
Calon istri sudah peyot
Setsetsot abang onot 2x

Baca juga: Puisi dari Tanah Gayo: Cara Menanam Kopi dalam Didong Sidang Temas

Puisi berikutnya  berjudul “Matahari Kuning Tugus Monas,” puisi yang saya tulis sebagai  sindirian  kepada pengusaha negara yang gemar menimbun hutang.

Puisi ini saya bacakan dalam iringan didong Singkite.

Tapi sebelumnya, puisi ini disuarakan terlebih dahulu oleh Ceh Kamal Basri dengan cara pepongoten¸ yaitu untaian kata-kata yang dibawakan dalam bentuk tangisan.

Dalam bahasa Gayo, pepongoten, berarti  tangisan.

MATAHARI KUNING TUGU MONAS

Cipt Fikar W.Eda

Matahari kuning tugu monas
Jatuh di ukiran batu
Memantulkan bayang sengsara
Wajah republik tukang hutang

Soekarno, hutang
Soeharto, hutang
Habibie, hutang
Gus Dur, hutang
Megawati. Hutang
SBY, lanjutkan hutang

Bayang sengsara di ukiran batu makin kentara
Jutaan wajah bertekuk di lutut donor
Inilah negeri penuh hutang
Kencing, hutang
Sperma, hutang
Tol, hutang
Kondominium, hutang
Jembatan, hutang
Jalan layang, hutang
O negeri subur
Tanah gembur
Makmur dengan hutang
Hutang di tanah pertanaian
Hutang di ladang gas dan minyak
Hutang di bursa saham
Tawa, hutang
Tangis, hutang,
Manula, hutang
Balita, hutang
Hidup, hutang
Mati, hutang!!!

Di bawah matahari kuning tugu monas
Mereka mengetuk palu
Tentang besaran hutang
Yang dilunasi
tanpa kesudahan

Baca juga: BRI Liga 1 2023/2024 Dewa United vs Arema FC, Prediksi Pertandingan, Preview Tim, dan Susunan Pemain

Bali-Jakarta, 2009-2011

Tanpa terasa sudah delapan puisi yang didendangkan oleh kedua grup.

Bus Trans Jakarta telah memutar tubuhnya dan berjalan kembali menuju terminal Cililitan.

Semula direncanakan, ada 20 puisi yang dibawakan oleh kedua grup tersebut.

Tapi tampaknya tidak cukup waktu untuk menuntaskan seluruh puisi. Rupanya durasi 2 jam, terlalu singkat untuk sebuah pertunjukan didong.

Alhasil pada pertunjukan itu, masing-masing grup hanya punya waktu mendendangkan enam puisi. Di penghujung pertunjukan, ke dua grup didong, Singkite dan Bintang Duta melakukan didong bersama sambil berjalan ke gerbong belakang.

Ini menandakan bahwa pertunjukan didong tetap menjaga kebersamaan, meskipun sebelumnya kedua grup melakukan “perang syair” dengan sindiran-sindiran tajam.

Saya membagi penampilan masing-masing grup dengan dua puisi  berturut-turut.

Artinya tiap dua puisi  dilakukan pergantian grup penampil.

Baca juga: Putra Aceh Kombes Anissullah Raih Penghargaan Bintang Bhayangkara Nararya dari Presiden Jokowi

Begitu seterusnya sampai bus Trans Jakarta tiba di Grogol dan kembali lagi ke stasiun PGC Cililitan.

Pergantian penampil, saya tandai dengan membunyikan canang yang saya gantung di leher.

Masing-masing grup sudah paham, apabila terdengar bunyi canang, itu artinya tanda pergantian pertunjukan.

Pertunjukan didong di Transjakarta itu mengambil bentuk pertunjukan didong tanding atau “didong jalu” sebagaimana yang terjadi di tanah asal.

Hanya saja dalam pertunjukan di Trans Jakarta, seluruh puisi disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan tema tunggal “Jakarta.”

Ini adalah satu-satu pertunjukan didong tanding yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Indonesia dimaksudkan agar untaian puisi didong dipahami oleh publik umum, namun tetap mempertahankan pola rima didong.

Sebelum menutup pertunjukan dan bus kembali ke stasiun  Cililitan, saya menjelaskan  kepada penumpang Trans Jakarta, bahwa begitulah hakikat kesenian didong.

Baca juga: Musara Gayo dan PAS Bantu Pemulangan Jenazah Warga Bener Meriah yang Meninggal di Jakarta ke Aceh

Selalu diakhiri dengan perdamaian.

Didong adalah jenis kesenian bersifat kompetitif karena dilakukan dalam format pertandingan.

Meskipun pemenang sebuah pertandingan didong sulit ditentukan, dan biasanya pemenangnya diserahkan kepada masing-masing penonton untuk menilai, mana grup yang puisinya lebih mengena.

Di Gayo, sebuah grup didong mewakili harga diri sebuah komunitas kampung atau desa.

Saya katakan, mungkin itulah sebabnya di Gayo tidak ditemui adanya peristiwa tawuran antar kampung, sebab seluruh semangat konflik sudah dialirkan melalui puisi dalam pertunjukan didong.

Barangkali ini bisa diterapkan di Jakarta. Masing-masing kelurahan dilatih berdidong dan ditampilkan dalam suatu pertunjukan.

Barangkali saja, dengan cara begitu, bisa menghindari warga Jakarta dari tawuran yang kerap terjadi.

Baca juga: Bangkit dari Gempa Ketol Aceh Tengah, Kini Desa Bah Kembangkan Wisata Air Sungai dan Bentangan Sawah

Termasuk juga tawuran antar sekolah dan mahasiswa.

Kepada anggota DPR Nasir Djamil saya sarankan untuk memanfaatkan didong masuk Senayan.(*)

Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews