Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh
TRIBUNGAYO.COM, BANDA ACEH - Kegiatan seni di Aceh kian terpinggirkan, hanya kerap muncul dalam seremoni, bukan lagi sebagai bagian dari denyut kehidupan masyarakat.
Menanggapi kondisi tersebut, Dewan Kesenian Aceh (DKA) Provinsi Aceh menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Aceh Menuju Darurat Kesenian”, yang digelar pada Sabtu (2/8/2025), di Banda Aceh.
Qanun Kesenian Aceh sebagai Payung Hukum
FGD ini menegaskan urgensi keberadaan Qanun Kesenian Aceh sebagai payung hukum yang sah untuk perlindungan dan pengembangan seni di Aceh.
Ketua DKA Aceh, Dr Teuku Afifuddin MSn, menjelaskan bahwa saat ini terjadi kerancuan di masyarakat terkait kegiatan seni.
“Di satu daerah alat musik tertentu dilarang, di daerah lain dibolehkan. Tanpa aturan baku, seni Aceh terjebak dalam tafsir yang berbeda-beda. Qanun Kesenian dibutuhkan untuk menjadi acuan tunggal,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, yang hadir mewakili Pemerintah Aceh, menyampaikan bahwa dukungan terhadap kesenian tetap terbuka, namun harus diprioritaskan secara bijak.
“Kami siap berdiskusi dengan seniman dan pihak terkait untuk merancang arah kebijakan seni yang tepat dan sesuai syariat,” ujarnya.
Dukungan Terhadap Qanun Kesenian
Dukungan terhadap Qanun Kesenian juga datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Repunlik Indonesia (DPR RI) asal Aceh, Dr H M Nasir Djamil MSi, yang menjadi pemantik diskusi.
Menurutnya, qanun akan memberikan kejelasan hukum dan kemudahan dalam penganggaran kegiatan seni.
“Qanun ini akan memudahkan para seniman berkarya tanpa keraguan, sekaligus memberikan perlindungan atas karya dan profesi mereka,” tegasnya.
Kekhawatiran Para Seniman
Kegelisahan seniman juga turut disuarakan dalam FGD ini.
Ceh Medya Hus, pelaku seni Gayo, menuturkan bahwa ketidakpastian aturan membuat seniman merasa tidak aman dalam berkesenian.
Hal serupa disampaikan oleh Nurul, pelaku seni tari, yang menyebutkan banyak sanggar tari mati suri karena adanya stigma negatif terhadap seni menari di kalangan masyarakat.
Perwakilan Majelis Adat Aceh (MAA), Yus Dedi mengingatkan pentingnya meneladani kepedulian pemerintahan masa lalu, seperti di era Gubernur Ibrahim Hasan, yang terbukti mampu menghidupkan semangat seni dengan keberpihakan nyata terhadap seniman.