Berita Nasional

Didong dalam Trans Jakarta: Pertunjukan Didong Jalu Pertama di Ibukota

Untuk pertama kali, pertunjukan seni didong jalu atau didong tanding yang berlangsung satu malam suntuk diselenggarakan di Jakarta, 3-4 April 1961

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jafaruddin
TribunGayo.com
Difasilitasi Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, diselenggarakan Didong Jalu antara Teruna Jaya dengan Kemara Bujang di Gedung MPR RI pada 2013. Nama acaranya "Didong Senayan." Itulah pertama sekali didong semalam suntuk di gedung wakil rakyat.  

Penonton perempuan biasanya terpisah dari penonton laki-laki.

Baca juga: Perang Gayo - Alas Lawan Belanda: Pertempuran Tenge Besi dan Enang-Enang tak Dilaporkan 

Para pemain didong yang terdiri dari dua grup (kelop) dalam suatu pertunjukan didong, duduk bersila dalam lingkaran yang terpisah.

Mereka menepuk tangan atau kanvas kecil secara serempak dan teratur disertai variasi gerak-gerak tubuh secara serentak pula.

Tepukan tangan berfungsi sebagai ritme mengiringi puisi-puisi didong yang didendangkan oleh para ceh.

Salah seorang ceh didong¸Ibrahim Kadir, dalam satu wawancara dengan saya di Takengon, Aceh Tengah, pada Mei 2011, menjelaskan bahwa para pemain didong tampil dengan pakaian kemeja putih, mengenakan kopiah hitam, dan sarung samarena.

Sedangkan untuk ceh, dilengkapi dengan tambahan aksesoris berupa syal dengan warna mencolok  melilit di leher.

Pada pertunjukan didong terdapat beberapa bagian yaitu sare, persalaman, kisah, tep onem, dan diakhiri dengan didong morom atau didong saling bermaafan antara kedua grup didong di penghujung pertandingan.

Sare, adalah atraksi variasi bunyi yang dibawakan secara koor sehingga mampu menghangatkan suasana dan diteruskan dengan puisi pendek.

Persalaman, adalah lirik yang mengandung sapaan kepada penonton, tamu undangan dan lawan tanding.

Baca juga: Bank Indonesia Siap Tambah Fitur Baru dalam Layanan QRIS, Bisa Tarik hingga Setor Tunai

Bagian lain adalah kisah, yaitu puisi yang berisi tentang cerita  perjalanan hidup dengan segala duka-citanya, termasuk ke dalamnya adalah kerinduan terhadap kampung halaman, atau kisah-kisah tertentu tentang adat, lingkungan dan sebagainya.

Puisi yang mengisahkan  tentang kampung halaman acap didendangkan oleh grup didong yang diundang bertanding di luar daerah Gayo, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan lain-lain.

Ada lagi yang disebut tep onem yaitu lirik yang mengandung sindiran “halus dan tajam” kepada lawan tanding.

Lirik-lirik sindiran dan serangan ini biasanya diperdengarkan pada tengah malam atau dini hari. (Melalatoa, 2001).

Didong morom atau didong bersimaapen memuat tentang permohonan maaf kepada lawan tanding, karena selama semalaman saling “menyerang dengan puisi” yang mungkin saja menyinggung perasaan. (*)

Update berita lainnya di TribunGayo.com dan GoogleNews

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved