Berita Aceh Tengah

Alat Musik Perau dan Jangka Dua Jejak Peninggalan Komponis Gayo Moese

“Perau” dan “Jangka,” dua instrumen musik yang terbuat dari perahu nelayan dan alat pengiris tembakau yang diciptakannya di paruh 1993.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
TRIBUNGAYO.COM/FIKAR W EDA
Arsip undangan konser musik Gayo yang menampilkan musik Perahu dan Jangka di Taman Budaya Banda Aceh 1993. 

Instrumen ini dimainkan dalam pentas Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-III) pada 1992  dan berbagai pentas musik lainnya.

AR Moese juga orang yang berada di balik pencapaian kemajauan seni musik di Gayo, Aceh Tengah. Melalui kemampuannya yang luar biasa, Moese menggubah puisi didong menjadi karya musik modern dengan tetap mempertahankan kekayaan melodi Gayo.

Berkat “sentuhan tangan” Moese lah, hingga karya-karya seni  didong -- jenis kesenian tradisional yang menyampaikan puisi-puisi Gayo dengan cara mendendangkannya dalam iringan tepukan tangan dan kanvas ukuran kecil sebagai rythem--bisa dimainkan dalam format musik modern.

Kemampuan Moese tersebut dimungkinkan karena selain menguasai benar melodi Gayo, ia juga menguasai musik klasik.

Pendidikan musik modern ini diperolehnya dari Sekolah Musik di Yogyakarta, 1958-1961 dan dari jurusan Seni Musik IKIP Rawamangun Jakarta, 1982-1986, serta ditunjang pula pengalaman Moese saat bergabung dengan kelompok orkestra pimpinan Idris Sardi di awal tahun 70-an yang pada zaman itu acap tampil di TVRI mengiringi penyanyi-penyanyi Indonesia.

Karya-karya gubahan tersebut antara lain “Perueren, Jempung (Cipt  Ceh Daman), “Tampok Pinang” (Ceh Sali Gobal), “Pegasing” (Ceh Lakiki), “Takengen” (Ibrahim kadir, Arika), “Batil, Tingkis, Geremukunah, LutTenelen” (Ibhrahim Kadir) dan lain-lain.

Selain melahirkan karya gubahan, Moese juga melahirkan serangkaian karya orisinal yang sampai sekarang masih tetap dihafal dengan baik oleh generasi penerus musik di Gayo.

Seperti Tangke Nate, Garipo, Lane, Merbuk (bersama Sebi), Macik, Renem Jejem (khusus lagu ini pernah menjadi lima besar dalam lomba Paduan Suara Tk Nasional, di Jakarta 1995),  Kesume Gayo, Semah Sujud, Macik, Reriyep, Tawar Sedenge, Payung Kertas, Jejari dan lain-lain.

Karyanya yang lain adalah menciptakan mars dan hymne  Universitas Gajah Putih  (UGP) Takengon dan lagu/mars untuk seluruh fakultas di lingkungan UGP.

Di Aceh Tengah ada dua lagu wajib yang dinyanyikan dalam peristiwa-peristiwa resmi kenegaraan. Pertama  “Indonesia Raya” ciptaan WR Soepratman.

Kedua lagu “Tawar Sedenge” ciptaan AR Moese.  Boleh jadi hanya Aceh Tengahlah yang mempraktekkan kebiasaan menyanyikan dua lagu wajib tersebut pada masa itu, sampai sekarang.

“Tawar Sedenge” (Penawar Dunia) dikukuhkan sebagai lagu wajib daerah pada 2022. Secara berkelakar, masyarakat menyebutnya sebagai “lagu kebangsaan Gayo.” 

Lagu ini diciptakan 1957, berisi tentang seruan kepada masyarakat Gayo untuk bangkit mengelola kekayaan alam dan intelektual daerah itu.

Lagu itu diciptakan ketika Moese masih cukup muda, berusia 22 tahun. Merupakan sebuah karya  monumental yang berhasil menggugah kesadaran masyarakat dataran tinggi tersebut.

Sebelum dikukuhkan sebagai lagu wajiub daerah lagu ini sudah dinyanyikan begitu luas dan dihafal oleh segenap masyarakat.

Sumber: TribunGayo
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved