Kupi Senye
Menyusuri Kampung Linge: Wisata Tanpa Sinyal
TIBA di Pematang Jerang Belanga, Diki dari Yayasan HAkA memberi tahu bahwa setelah tanjakan, sinyal telepon akan hilang
Oleh Fikar W.Eda *)
TIBA di Pematang Jerang Belanga, Diki dari Yayasan HAkA memberi tahu bahwa setelah tanjakan, sinyal telepon akan hilang.
Diki mengemudikan Toyota Innova, saya bersam Ceh M Din, ikut dalam kendaraan itu bersama beberapa anggota rombongan lain.
Kami menuju Kampung Linge, tempat penyelenggaraan Festival Nenggeri Linge 13-16 Juli 2024.
Saya mendapat tugas menjadi moderator dalam talkshow. Ceh M. Din, maestro didong Gayo menjadi juri
Lomba Didong Safari bersama dua juri lainnya Ceh Kasman (Lut Tawar Jaya) dan Salihin, ceh dan pengarang didong di Linge.
Festival Nenggeri Linge bertajuk Asal Linge Awal Serule, kegiatan pertama dislenggarakan di kampung itu dengan panitia warga dan perangkat kampung. Ketua penyelenggara Ismanadi Linge, Namtara Linge, anak muda kreatif sarjana pendidikan.
Kemudian M Saleh Adong Linge,aktif di banyak aktivitas lingkungan dan budaya, serta seluruh pemuda dan pemudi Linge.
Reje Kampung Linge Zainuddin SL bersama perangkat kampung, ikut terlibat mempersiapkan perhelatan budaya ini, dengan bantuan pendampingan dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh disingkat Yayasan HAkA, dengan “k” kecil, adalah organisasi nirlaba yang berpusat di Banda Aceh.
Menyebut Linge, kata Zainuddin SL, berarti menyinggung asal muasal orang Gayo yang mulai hidup menetap, dan dilandasi tata atur sosial.
Sebelumnya di masa pra sejarah, seperti dicatat peneliti Balai Arkeologi Sumatera Utara yang melakukan penggalian arkologis di Ceruk Mendale, kehidupan masih menetap di gua dan berpindah. Di era Linge, komunitas manusia Gayo mulai menetap dalam satu jalinan sosial kemasyarakatan.
Di era digital sekarang, Kampung Linge, masih sebuah desa yang tersembunyi di balik pegunungan Aceh Tengah, jaraknya 41 km dari Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Kampung Linge berada dalam wilayah Kecamatan Linge dengan ibukota kecamatan di Kampung Isaq.
Perjalanan menuju Kampung Linge dimulai dari Takengon melalui tepi Danau Lut Tawat menuju Bintang. Selanjutnya menyusur Jalan Takengon – Belangkejeren. Tiba Kampung Waq, di pertigaan, gerbang KTM Ketapang Nusantara, terdapat papan penunjuk jalan, bertuliskan “Rumah Adat Linge 15 Km”.
Perjalanan ke Kampung Linge berbelok ke kiri jika dari Takengon dan belok ke kanan jika dari arah Belangkejeren.
Perjalanan dilanjutkan melewati Uyem Polok, Kala Ili, Pematang Jerang Belanga, Uyem Tulu, hingga Telege Jamu sebelum akhirnya tiba di Kampung Linge. Jalanan yang harus ditempuh berliku-liku dan menanjak, tetapi pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan benar-benar memukau, pemandangan savana.
Udara pegunungan yang sedikit panas dibanding Takengon, jalanan tidak terlalu mulus, kelokan dan tanjkan, di beberapa bagian belum “selicin aspal.”
Begitu tiba di Kampung Linge, hal pertama yang saya sadari adalah hilangnya sinyal telepon seluler. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti mimpi buruk, tetapi bagi saya, ini adalah kesempatan untuk benar-benar terlepas dari dunia maya dan menyelami kehidupan nyata di kampung ini.
M Saleh Adong Linge dan kemudian Ismanadi Linge menyambut kami dengan ramah dan menjelaskan bahwa ketidaktersediaan sinyal adalah keseharian di Linge.
Bersama Ceh M Din kami singgah di kedai milik kerabat Ismanadi. Kami berbincang sejenak, sebelum kemudian kami diantarkan ke tempat kami nginap, rumah orang tua dari Ismanadi.
"Di sini, kita bisa benar-benar hidup tanpa gangguan. Pengunjung dapat menikmati suasana tradisional dan alam tanpa terganggu oleh notifikasi dan email," ujar Ismanadi.
Tapi ada beberapa yang mencoba menemukan sinyal telepon, mereka adalah tamu yang datang dari luar daerah, juga dalam rangka Festival Nenggeri Linge tadi. Kata Ismanadi, ada satu titik yang bisa menangkap sinyal, umumnya warga setempat “nongkrong” di tempat itu kalau mau berkomunikasi.
Tempatnya tidak jauh dari kedai kami istirahat tadi. Agak gelap memang.
Selepas makan malam yang sudah disiapkan panitia, saya dan Ceh M. din diajak ke Buntul Linge, tempat penyelenggaraan Festival Nenggeri Linge.
Di sana ada dua rumah adat, “Umah Pitu Ruang.” Buntul Linge diyakini pusat Kerajaan Linge, didirikan Genali pada 1025 Masehi. Kami berkumpul di bawah Umah Pitu Ruang, dibangun masa Bupati Shabela Abubakar.
“Umah Pitu Ruang” satunya lagi dibangun masa Bupati Mustafa M Tamy. Rupanya ada “didong morom,” malam itu. Ceh M Din kemudian mengawali didong setelah memberikan sedikit arahan. Meriah sekali. Saya membaca puisi secara sepontan di sela tepukan didong.
Selama berada di Linge, saya berkesempatan berinteraksi dengan masyarakat. Selama ini saya mengenal Linge dari beberapa bacaan buku ditulis AR Hakim Aman Pinan, Yusra Habib Abdul Gani dan beberapa cerita.
Kampung Linge dikelilingi alam sedikit terjal. Ini memang bukan daerah pertanian. Kawasan ini lebih menonjol sebagai tempat penggembalaan, khusunya kerbau.
Tanaman yang tumbuh; kelapa, pinang, kemiri, sedikit sawah, kopi robusta dan tanaman keras lainnya.
Lalu bagaimana dengan masa depan Linge? “Kita akan kembangkan sebagai daerah wisata adat budaya dan religi,” kata Reje Zainuddin SL. Pj Bupati Aceh Tengah Teuku Mirzuan sudah menerbitkan regulasi yang menetapkan Kampung Linge sebagai kampung wisata religius seperti halnya Serule. Jadi tinggal diisi dan dikembangkan.
Di sela perbincangan tentang Linge sebagai kampung wisata, muncul gagasan menjadikan “Linge Tanpa Sinyal” sebagai nilai tambah dari wisata Linge.
"Ketidaktersediaan sinyal akan membuat pengunjung lebih khidmat dalam menikmati lingkungan dan budaya kami," kata Zamzam Mubarak, pemuda dan aktivis Gayo.
Anggota Majelis Adat Gayo Kamaruddin menimpali ide ini dengan memperlihatkan bahwa anak-anak sekarang sudah “terjajah” oleh gedget. “Ini kesempatan mengembangkan permainan tradisonal, sebab kalau berada di Linge, gadget tidak lagi berfungsi. Ini juga sekaligus memperkenalkan anak-anak kepada dunia tradisi,” kata Kamaruddin yang sudah menulis beberapa buku adat dan budaya Gayo.
Perjalanan ke Kampung Linge benar-benar membuka mata tentang betapa berharganya keterpencilan dalam dunia yang serba terhubung ini. Linge menawarkan sebuah pelarian dari rutinitas harian, memberikan kesempatan untuk benar-benar terhubung dengan alam dan budaya lokal. Ini adalah destinasi yang ideal bagi mereka yang mencari kedamaian dan ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern.
Kampung Linge adalah tempat di mana kita dapat menemukan ketenangan sejati, menyelami tradisi yang kaya, dan menikmati keindahan alam yang menenangkan.
Ini adalah perjalanan yang tidak hanya menawarkan pemandangan yang indah, tetapi juga pengalaman yang mendalam tentang kehidupan yang sederhana namun bermakna.
Menikmati alam, belajar tentang budaya dan tradisi lokal, bermain permainan tradisional, dan mengunjungi situs-situs bersejarah dan religius.
Jika Anda mencari pengalaman yang berbeda dan ingin melepaskan diri dari dunia digital untuk sementara waktu, Kampung Linge adalah destinasi yang sempurna untuk Anda.
Sebuah pilihan yang sangat masuk akal. Ayo ke Linge, menikmati wisata tanpa sinyal.
*) Penulis adalah seorang penyair dan jurnalis asal Tanah Gayo
KUPI SENYE adalah rubrik opini pembaca TribunGayo.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
| Tataniaga Kopi yang Manusiawi untuk Menyelamatkan Ekonomi Rakyat Gayo |
|
|---|
| Pasar Handicraft Gayo: Membangun Pusat Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Aceh Tengah |
|
|---|
| Air Mata di Balik Senyuman Seorang Guru |
|
|---|
| Menjaga Spirit Ibadah di Usia Senja: Hikmah Wudhu dan Shalat bagi Kesehatan Jasmani dan Ruhani |
|
|---|
| Antrean Panjang di Sejumlah SPBU Aceh Tengah Sebabkan Kemacetan dan Ganggu Aktivitas Warga |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/Penyair-dan-budayawan-nasional-asal-tanoh-Gayo-Fikar-W-Eda.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.