Demo Tuntut Pengembalian Pulau

Pengalihan Empat Pulau dari Aceh ke Sumut, Begini Penjelasan Pengacara Asal Gayo Alwien Desry

Ia menegaskan bahwa Kemendagri seharusnya membatalkan SK tersebut secara administratif tanpa mendorong masyarakat Aceh menempuh jalur hukum

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mawaddatul Husna
DOKUMEN PRIBADI
PENGALIHAN EMPAT PULAU - Pengacara senior asal Gayo, Aceh, Alwien Desry, SH MH menanggapi terkait pengalihan pengelolaan empat pulau di Aceh ke Sumut, Jumat (13/6/2025). Ia menegaskan bahwa Kemendagri seharusnya membatalkan SK tersebut secara administratif tanpa mendorong masyarakat Aceh menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

TRIBUNGAYO. COM, JAKARTA - Terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 yang mengalihkan pengelolaan empat pulau di Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) memicu ketegangan dan konflik antar dua provinsi tersebut.

Adapun keempat pulau yang dialihkan pengelolaannya yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil).

Hal itu disampaikan Pengacara senior asal Gayo, Aceh, Alwien Desry, SH MH, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Ia menegaskan bahwa Kemendagri seharusnya membatalkan SK tersebut secara administratif tanpa mendorong masyarakat Aceh menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Padahal dalam diktum kedelapan SK tersebut jelas disebutkan bahwa apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Artinya, Kemendagri memiliki ruang koreksi internal tanpa harus menunggu proses hukum," ujar Alwien.

Alwien juga menyayangkan keputusan Mendagri Tito Karnavian yang dinilainya tidak mempertimbangkan aspek historis dan administrasi kewilayahan secara utuh.

Ia menegaskan, seluruh penduduk yang mendiami pulau-pulau tersebut memiliki KTP Aceh, bukan Sumatera Utara.

"Secara historis, pulau-pulau tersebut pernah menjadi bagian dari kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar pada tahun 1992.

Keputusan ini seharusnya menjadi pijakan dalam penyusunan kebijakan tata batas wilayah," jelasnya.

Ia pun mengimbau agar Kemendagri segera mengambil langkah korektif sebelum terjadi potensi konflik sosial yang lebih besar, terutama di kawasan perbatasan.

"Jangan sampai SK ini menjadi pemicu perpecahan dan kecurigaan antarmasyarakat di dua provinsi yang selama ini hidup berdampingan," tutup Alwien. (*) 

Baca juga: BREAKING NEWS: Pelajar dan Mahasiswa Aceh Geruduk Kemendagri, Tuntut 4 Pulau Dikembalikan ke Aceh

Baca juga: Kemendagri Siap Fasilitasi Penyelesaian Status Empat Pulau Antara Aceh dan Sumut

Baca juga: Menanti Langkah Mualem dalam Mempertahankan Empat Pulau Singkil


 

 

Sumber: TribunGayo
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved