Demo Tuntut Pengembalian Pulau

Sengketa 4 Pulau, Pemekaran Provinsi ALA Diusulkan Jadi Solusi

Peristiwa ini mencerminkan lemahnya pengelolaan wilayah yang begitu luas, sehingga pemekaran provinsi menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan.

Penulis: Romadani | Editor: Sri Widya Rahma
DokumenPribadi/Sabaruddin
SENGKETA EMPAT PULAU - Aktivis mahasiswa, Sabarudin menilai hilangnya empat pulau yang sebelumnya masuk dalam wilayah Aceh sebagai simbol kegagalan besar Pemerintah Aceh dalam menjaga kedaulatan wilayah dan marwah daerah. Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang kini tercatat sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. 

Laporan Romadani | Aceh Tengah

TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Aktivis mahasiswa, Sabarudin menilai hilangnya empat pulau yang sebelumnya masuk dalam wilayah Aceh sebagai simbol kegagalan besar Pemerintah Aceh dalam menjaga kedaulatan wilayah dan marwah daerah.

Menurutnya, peristiwa ini mencerminkan lemahnya pengelolaan wilayah yang begitu luas, sehingga pemekaran provinsi menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan.

“Hilangnya empat pulau milik Aceh tidak bisa dianggap remeh. Ini bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam atau akibat perubahan administratif seketika. Ini adalah proses panjang yang semestinya bisa diantisipasi,” ujar Sabarudin dalam siaran persnya.

Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang kini tercatat sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Sabarudin menilai hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Pemerintah Aceh tidak mampu mengelola wilayah seluas 23 kabupaten atau kota yang ada.

“Secara historis, keempat pulau itu sudah pernah dibahas dalam verifikasi dan uji spasial. Pada 20-22 November 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi memverifikasi dan menetapkan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak termasuk empat pulau tersebut,” jelasnya, Selasa (17/6/2025)

Ia menambahkan, pada 14 hingga 16 Mei 2008, Tim Nasional yang sama juga melakukan verifikasi di Medan, Sumatera Utara, dan menetapkan 213 pulau, termasuk empat pulau yang sebelumnya dianggap milik Aceh.

Nama-nama pulau tersebut kemudian dikonfirmasi pada 23 Oktober 2009.

“Ini jelas menunjukkan kelalaian dan ketidaktelitian Pemerintah Aceh dalam mengelola wilayahnya. Pemerintah daerah terkesan tidak serius dan tidak memiliki kemampuan manajerial yang memadai,” tambahnya.

Sabarudin juga mengkritik keras para pemimpin di Pemerintah Aceh yang menurutnya lebih sibuk mengurus proyek-proyek yang berorientasi keuntungan ketimbang mengurus batas dan wilayah administrasi.

“Kalau saja para pemimpin memiliki kapasitas dan kepedulian yang cukup, kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Ini bukti bahwa luasnya wilayah Aceh tidak sebanding dengan kemampuan para pemimpinnya.

Sudah saatnya dilakukan pemekaran provinsi agar pengelolaan wilayah menjadi lebih efektif,” tegasnya.

Ia juga mengajak semua pihak untuk menyikapi fenomena ini secara intelektual dan berbasis data, bukan hanya framing isu yang bersifat politis.

“Jika memang sejak awal ada kepedulian, maka sejak 2008 sudah dilakukan langkah-langkah untuk mempertahankan empat pulau tersebut. Namun faktanya, baru setelah benar-benar lepas, semua mulai ribut. Ini menunjukkan lemahnya komitmen,” katanya.

Halaman
12
Sumber: TribunGayo
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved