Dari kebun kopi yang harum namun sepi,
dari jalan tanah merah yang luka setiap hujan,
dari sekolah-sekolah reyot yang menahan mata anak-anak,
muncul satu doa,
satu bara dalam dada:
biarkan kami mengurus diri kami sendiri,
biarkan kami menenun masa depan sesuai warna kain kami.
Sudah banyak daerah di Indonesia,
yang seperti anak burung
belajar mengepak sayap,
diberi ruang, diberi angin,
dan kini terbang.
Mengapa ALA harus terus jadi telur
yang tak menetas?
Di balik nama ALA,
ada wajah petani yang menatap langit retak,
ada suara guru yang pecah di ruang kelas reot,
ada langkah anak-anak kecil
menyusuri kabut dengan sandal tipis,
mereka semua adalah sungai kecil
yang ingin bermuara ke laut keadilan.
Ini bukan sekadar urusan administratif.
Ini urusan harga diri.
Ini bukan tentang pecah-belah,
tapi tentang pohon yang bercabang,
agar ranting tak patah,
agar daun bisa menyapa matahari.
Hari ini,
ketika suara-suara daerah lain sudah menjelma angin besar,
mengapa suara ALA harus terus jadi bisik di telinga sendiri?
ALA harus lahir.
Bukan esok.
Bukan nanti.
Sekarang.
Karena setiap penundaan
adalah memperpanjang tali simpul yang mencekik.
ALA adalah suara yang tak boleh padam.
Jika suara-suara kecil itu berkumpul,
mereka menjadi badai,
dan badai tak pernah bisa dibungkam. (*)
Baca juga: Puisi Pasangan Suami Istri dari Gayo Lolos Kurasi Pertemuan Penyair Nusantara di Jakarta
Baca juga: Tiga Puisi Karya Sulaiman Juned Direkomendasikan Jadi Materi Cipta Lagu FLS3N 2025
Baca juga: Hasil Kurasi PPN XIII Diumumkan 15 Juli 2025, Dipilih 275 Puisi dari 1.800 Puisi yang Masuk