Laporan Romadani | Aceh Tengah
TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Sejarawan sekaligus Budayawan Kopi Gayo, Ir Khalid B Bramsyah, mengupas jejak panjang dan tantangan masa depan kopi arabika dari dataran tinggi Gayo.
Dalam wawancara khusus bersama TribubGayo.com, Jumat (1/8/2025), Khalid yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG), menegaskan bahwa kopi bukan sekadar komoditas, melainkan identitas dan sejarah panjang masyarakat Gayo.
Menurut Khalid, tidak ada catatan pasti kapan kopi arabika pertama kali masuk ke dataran tinggi Gayo. Namun, dua literatur penting menyebutkan periode berbeda.
Pertama John R. Bowen dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics (Gayo History 1900–1989) mencatat bahwa kopi arabika didatangkan oleh Belanda pada tahun 1908.
Dalam tulisan lainnya, menyebutkan masuknya kopi arabika ke dataran tinggi Gayo sekitar tahun 1924 yang dibawa oleh orang Belanda, yaitu setelah selesainya pembangunan jalan Bireuen -Takengon pada tahun 1913.
“Kopi pertama kali ditanam di Paya Tumpi, lalu menyebar ke Rediness, Blang Gele, Burni Bius, dan Bandar Lampahan. Awalnya, kopi hanya dibudidayakan oleh orang Belanda dan kaum bangsawan,” terang Ir Khalid.
Budidaya secara luas baru dimulai setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Sejak itu, kopi menjadi komoditas unggulan yang menopang ekonomi rakyat dan daerah.
Kini, luasan perkebunan kopi di kawasan Gayo mencapai sekitar 103.720 hektare, terdiri atas 49.997 hektare di Aceh Tengah, 46.723 hektare di Bener Meriah, dan 7.000 hektare di Gayo Lues.
Dari jumlah tersebut, 85 persen merupakan kopi arabika, melibatkan lebih dari 60.000 kepala keluarga.
Tak hanya luas, Gayo juga memiliki ekosistem perkopian yang disebut Ir Khalid sebagai paling lengkap di dunia.
“Mulai dari petani, koperasi, pasar lelang, gudang resi, hingga sertifikat Indikasi Geografis (IG). Sayangnya, belum semuanya berjalan maksimal,” ujarnya.
Namun di balik prestasi tersebut, masih ada tantangan besar, yakni rendahnya produktivitas.
“Rata-rata hanya 800 kilogram green bean per hektare per tahun, padahal potensinya bisa mencapai 2.500 kilogram,” jelas Khalid.
Masalah utama berasal dari penanganan pascapanen yang belum memenuhi standar teknis, sehingga berdampak pada cacat rasa.
Meskipun demikian, Kopi Gayo tetap dikenal sebagai kopi spesialti berkualitas premium, baik di pasar domestik maupun internasional.
Bahkan, muncul pendekatan baru yang disebut Kopi Konservasi, yaitu sistem berkebun kopi yang ramah lingkungan.
“Tidak membuka hutan, menanam pohon naungan yang bermanfaat ekonomi, dan menjaga iklim mikro,” tambahnya.
Pendekatan ini selaras dengan prinsip Good Agricultural Practices (GAP), Fair Trade, Rainforest Alliance, dan Café Practices, yang menjadi standar global dalam industri kopi berkelanjutan. Gayo juga telah mengantongi banyak sertifikasi, termasuk Fair Trade.
“Fair Trade itu bukan hanya soal perdagangan yang adil, tapi juga sistem ekonomi yang menjunjung nilai transparansi, kesetaraan, keberlanjutan, dan perlindungan lingkungan serta budaya lokal,” ungkap Khalid.
Khalid berharap, masa depan kopi Gayo tidak hanya berfokus pada ekspor dan pengakuan internasional, tetapi juga menjaga jati diri masyarakat Gayo sebagai penjaga warisan budaya kopi arabika Gayo. (*)
Baca juga: Muralnya Terpampang di AS, Eksportir Kopi Gayo Angkat Bicara Soal Trump Turunkan Tarif Impor RI