Kupi Senye

Tataniaga Kopi yang Manusiawi untuk Menyelamatkan Ekonomi Rakyat Gayo

Terjadi ketimpangan dalam tataniaga kopi yang mengancam pelaku usaha kecil lokal di dataran tinggi Gayo.

Editor: Sri Widya Rahma
Dokumen Kiriman Rachmat Jayadikarta
KUPI SENYE - Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Daerah, Rachmat Jayadikarta SE. 

Secara ekonomi, strategi ini menggunakan mekanisme “price capture”, di mana harga gelondong dinaikkan secara artifisial untuk mengamankan pasokan besar.

Setelah bahan baku terkumpul dan dikirim keluar daerah, pasar lokal kekurangan pasokan gabah.

Pada tahap ini, pengendali pasar dapat menurunkan harga di kemudian hari, karena tidak ada lagi pesaing di level prosesor.

Dampak jangka panjang dari sistem ini antara lain:

  • Deindustrialisasi lokal, industri pengolahan kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah mati perlahan.
  • Kehilangan PAD, karena nilai tambah pindah ke luar daerah.
  • Ketergantungan struktural, petani menjadi tergantung pada pembeli luar daerah yang menentukan harga dan waktu beli.
  • Ketimpangan sosial ekonomi, karena sebagian kecil aktor menguasai nilai besar perdagangan kopi.

Dengan kata lain, politik dagang kopi Gayo saat ini telah bergeser dari semangat community-based economy menuju capital-based trade control, yang mengancam keberlanjutan ekonomi rakyat.

Monopoli Mengancam Stabilitas Ekonomi Lokal

Monopoli dalam perdagangan kopi bukan sekadar soal harga. Ia adalah soal kedaulatan ekonomi daerah. Ketika pembeli besar memegang kendali, harga gabah ditekan serendah mungkin, sementara prosesor lokal kehilangan pasokan.

Hal ini menciptakan perang dagang di tingkat bawah: saling sabotase harga, penimbunan bahan baku, hingga persaingan tidak sehat antar kampung.

Dalam jangka panjang, dampaknya sistemik:

  • Usaha kecil kolaps, ribuan tenaga kerja kehilangan penghasilan.
  • Kontrak dagang dengan buyer internasional rusak, karena prosesor tidak mampu memenuhi pasokan.
  • Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurun karena kopi keluar dari daerah dalam bentuk gabah, bukan green bean yang bernilai tinggi.
  • Reputasi merek Gayo terancam karena kualitas kopi tidak lagi terkendali oleh pelaku lokal yang selama ini menjaga standar mutu.

Saatnya Daerah Bertindak: Regulasi Tataniaga Kopi yang Adil dan Manusiawi

Pemerintah kabupaten di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues perlu segera merumuskan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati tentang Tataniaga Kopi yang Manusiawi.

Regulasi ini penting untuk memastikan setiap rantai nilai kopi memberikan manfaat langsung bagi masyarakat dan pelaku lokal.

Langkah ini memiliki dasar hukum yang kuat:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menegaskan bahwa setiap pelaku usaha dilarang menguasai produksi atau pemasaran barang secara tidak wajar.
  • Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang menekankan penguatan ekonomi daerah berbasis potensi lokal.
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan melindungi kegiatan ekonomi masyarakat di wilayahnya.
  • Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang juga menegaskan pentingnya keadilan dan kemaslahatan ekonomi lokal dalam setiap aktivitas perdagangan.

Beberapa langkah strategis bisa dilakukan:

  • Kewajiban Pemrosesan Lokal: Petiap kopi yang keluar daerah sebaiknya sudah diproses minimal menjadi green bean. Ini bukan bentuk proteksi berlebihan, melainkan upaya menjaga nilai tambah agar tetap beredar di daerah.
  • Perlindungan Prosesor dan Huller Lokal: Pemerintah perlu mewajibkan pembeli besar menawarkan sebagian volume pembelian kepada pengusaha lokal sebelum mengekspor keluar.
  • Pengakuan Kontrak dan Larangan Praktik Monopoli: Kontrak antara prosesor dan buyer harus diakui serta dilindungi hukum
    daerah. Pelaku besar yang memutus kontrak sepihak atau memborong pasokan tanpa izin harus dikenai sanksi tegas.
  • Insentif bagi Pengusaha yang Meningkatkan Nilai Tambah: Pemerintah dapat memberi pengurangan retribusi, subsidi peralatan,
    atau fasilitas kredit ringan bagi pelaku usaha yang memproses kopi di wilayahnya sendiri.
  • Transparansi Harga dan Platform Tataniaga Terpadu: Pasar elektronik atau coffee trading hub lokal perlu dikembangkan agar
    harga terbentuk secara terbuka dan adil.

Tataniaga kopi yang manusiawi berarti menempatkan manusia bukan modal sebagai pusat kebijakan.

Petani, prosesor, dan pekerja lokal adalah bagian dari identitas ekonomi Gayo yang tidak boleh dikorbankan atas nama efisiensi pasar.

Jika pemerintah daerah berani mengambil langkah regulatif yang progresif, Gayo tidak hanya akan dikenal karena cita rasa kopinya, tetapi juga karena keadilan dalam tata niaganya.

Di sinilah letak martabat ekonomi rakyat Gayo, ketika setiap cangkir kopi dunia tetap menyisakan kesejahteraan di tanah asalnya. 

*) Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Daerah. 

KUPI SENYE adalah rubrik opini pembaca TribunGayo.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca terkait Kupi Senye lainnya di TribunGyao.com.

Sumber: TribunGayo
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved