GOS TAKENGON BERALIH FUNGSI
40 Tahun Berdiri, GOS Takengon Tetap Seperti Awal Dibangun
Seorang seniman Tanah Gayo yang pernah tampil di GOS Takengon sekitar tahun 1980an menyampaikan bahwa kondisi GOS saat ini belum berubah sejak dulu.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Sri Widya Rahma
Laporan Fikar W Eda | Aceh Tengah
TRIBUNGAYO.COM, TAKENGON - Masa kecil hingga menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), saya Fikar W Eda, jalani kehidupan di Tanah Gayo, tepatnya di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Saat itu, Takengon hanyalah sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk yang belum mencapai 50 ribu jiwa.
Terletak di pedalaman Provinsi Aceh, Takengon berjarak 101 kilometer (Km) dari Bireuen atau sekitar 380 km dari Banda Aceh ibukota provinsi, yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 5 hingga 6 jam.
Saya menamatkan pendidikan SD, SMP dan SMA di Takengon. Setelah itu, saya melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh.
Di kota kecil itulah saya mengenal dunia seni terutama teater dan puisi. Saya juga memulai langkah sebagai penulis reportase kesenian untuk Harian Waspada, sebuah surat kabar yang terbit di Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara.
Aktivitas seni saya dimulai secara serius sejak 1983, ketika bergabung dengan Sanggar Arimulomi Takengon, yang dibina oleh pasangan suami istri Bang Fajaruddin dan Kak Dumasari, dua sosok yang sangat peduli terhadap seni dan generasi muda.
Pentas teater pertama saya berlangsung pada 8 April 1983.
Saat itu saya memerankan tokoh pemuda dalam naskah “Sandra Loka Penghuni Rumah Setan”, karya Raswin Hasibuan.
Naskah tersebut disutradarai oleh seorang seniman teater asal Medan yang bekerja di Takengon sebagai tenaga kesehatan, Ipap Suprapto. Di Medan Bang Ipap tergabung dalam Teater Nuansa.
Pementasan itu berlangsung di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon, seusai waktu Isya.
Meski gedung ini tidak memiliki akustik yang baik dan minim fasilitas pencahayaan serta sistem suara, semangat kami tak pernah padam.
Bahkan, untuk menyediakan bangku penonton kami harus meminjam kursi kayu dari sekolah dasar terdekat dan segera mengembalikannya malam itu juga karena akan dipakai keesokan harinya oleh para siswa.
Berulang kali kami mengadakan pementasan teater di GOS. Salah satu naskah yang masih saya ingat adalah “Kering” karya Sjaful Hadi JL, yang juga disutradarai oleh Ipap Suprapto.
Pementasan ini digelar pada tahun 1984, dan berhasil meraih juara dalam Festival Teater Rakyat Provinsi Aceh, mewakili Aceh ke ajang yang sama di Sumatera Utara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.