Kupi Senye
Blok Medan Melawan Panglima GAM
Hari ini empat pulau digeser, besok bisa saja Banda Aceh disulap jadi kota satelit Sumut karena suara azan terdengar sampai Tapanuli.
Oleh: Rizki Rahayu Fitri *)
Dunia ini semakin aneh. Yang waras makin jarang, yang tak tahu malu malah berjemaah. Belum reda kisah hukum jadi alat dagang politik di tingkat elite, kini muncul kisah baru dari tanah Serambi Mekkah: empat pulau yang secara historis, kultural, dan administratif merupakan bagian dari Provinsi Aceh, tiba-tiba diklaim sebagai milik Sumatera Utara.
Yang satu ini bukan sekadar pencurian, tapi penculikan wilayah dengan akta pemalsuan kesadaran sejarah.
Kita bicara soal Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang yang sejak masa kolonial hingga kini masuk dalam tapal batas Aceh, tepatnya Kabupaten Aceh Singkil.
Namun dengan tiba-tiba, dalam data Kemendagri, status wilayah ini berubah ke tangan Sumatera Utara, tepatnya Tapanuli Tengah.
Apa yang terjadi? Ini bukan sihir, ini bukan sulap. Ini kerja sistematis, terstruktur, dan beraroma busuk.
Tak usah jauh-jauh, tinggal buka peta Belanda era Hindia Timur, lihat peta administratif zaman Orde Baru, hingga salinan UU Pembentukan Kabupaten Aceh Singkil tahun 1999 semua menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut milik Aceh.
Bahkan dalam catatan sejarah kerajaan, wilayah-wilayah ini masuk dalam zona kontrol Kesultanan Aceh Darussalam.
Kalau ini masih diklaim bukan bagian Aceh, berarti ada yang minum kopi pakai bensin. Klaim Sumut tak punya basis hukum, hanya mengandalkan "versi peta internal" dan "klaim masyarakat nelayan" yang katanya "berinteraksi dengan nelayan Sibolga".
Maaf, itu logika yang sama dengan mengatakan Bali milik Australia karena banyak bule surfing di Kuta.
Ada Apa di Balik Peta?
Jelas ini bukan sekadar soal pulau. Ada aroma rekayasa pusat dalam distribusi dan manipulasi kewenangan wilayah.
Saat pusat kehilangan kontrol atas legitimasi moralnya di tengah rakyat, maka wilayah pun menjadi alat tawar-menawar kekuasaan.
Dalam konteks ini, "Blok Medan" menjadi metafora sindiran bagi sekumpulan elite lokal yang berdansa di atas lirik kekuasaan pusat.
Mengapa kita menyebut “Blok Medan”? Karena pola-pola manuver politik Sumatera Utara belakangan ini sangat aktif dari urusan calon presiden boneka, konglomerasi proyek strategis, hingga relasi dekat dengan lingkaran kekuasaan keluarga Jokowi.
Maka tak heran jika tiba-tiba batas-batas geografis bisa berubah, mirip Google Maps yang ngelag sinyal.
Panglima GAM Tidak Tidur
| Kelangkaan Gas Elpiji di Aceh Tengah: Cermin Lemahnya Pengawasan dan Ketimpangan Distribusi Subsidi |
|
|---|
| Peran Baitul Mal Aceh Tengah dalam Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Kampung Keramat Mupakat |
|
|---|
| Tataniaga Kopi yang Manusiawi untuk Menyelamatkan Ekonomi Rakyat Gayo |
|
|---|
| Pasar Handicraft Gayo: Membangun Pusat Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Aceh Tengah |
|
|---|
| Air Mata di Balik Senyuman Seorang Guru |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/PENULIS-RIZKI-RAHAYU-FITRI.jpg)