Kupi Senye

Blok Medan Melawan Panglima GAM

Hari ini empat pulau digeser, besok bisa saja Banda Aceh disulap jadi kota satelit Sumut karena suara azan terdengar sampai Tapanuli.

Editor: Sri Widya Rahma
Dokumen Rizki Rahayu Fitri
KUPI SENYE - Rizki Rahyu Fitri adalah seorang Mahasiswa Hukum asal Aceh. 

Tentu saja, rakyat Aceh tidak tinggal diam. Kalimat “Blok Medan melawan Panglima GAM” bukan berarti glorifikasi militerisme, tapi simbol perlawanan kolektif terhadap manipulasi pusat yang mengecilkan martabat wilayah.

Aceh adalah tanah perjanjian, bukan tanah jajahan. Dalam perspektif hukum, manipulasi batas wilayah tanpa persetujuan daerah yang bersengketa bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara menghormati kesatuan masyarakat adat dan hak-haknya.

Artinya, rekayasa tapal batas adalah bentuk penjajahan gaya baru. Dulu pakai senapan, sekarang pakai birokrasi dan peta digital.

Pengaturan batas wilayah antar daerah juga tunduk pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan kesesuaian tata ruang dengan kepentingan daerah dan partisipasi publik.

Selain itu, Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah dengan jelas mengatur prosedur, tahapan, dan kewajiban musyawarah dalam penyelesaian konflik tapal batas.

Artinya, rekayasa tapal batas adalah bentuk penjajahan gaya baru. Dulu pakai senapan, sekarang pakai birokrasi dan peta
digital.

Lucunya, semua terjadi ketika Indonesia sedang sibuk mengurus keluarga Jokowi yang seolah mendirikan dinasti baru: dari Solo ke Jakarta, dari Jakarta ke Medan.

Putra bungsu jadi calon wakil gubernur Sumut, kakaknya bertahan di Jakarta, ayahnya bergeser jadi "kingmaker".

Maka, klaim atas pulau bisa dibaca bukan hanya sebagai kekacauan geografis, tetapi juga geopolitik rumah tangga kekuasaan.

Apa jadinya kalau penentuan wilayah tak lagi berdasarkan hukum, tapi berdasarkan hubungan keluarga?

Negeri ini akan runtuh, bukan karena perang, tapi karena nepotisme yang dibungkus stabilitas.

Izinkan penulis sedikit bermain humor: kalau Pulau Mangkir Kecil diklaim Sumut karena letaknya lebih dekat ke Sibolga, maka besok bisa jadi Mentawai diklaim milik Lampung karena ombaknya sama.

Atau, jangan-jangan "Blok Medan" juga mengincar masjid-masjid di Banda Aceh karena azannya terlalu keras sampai terdengar di Tapanuli?

Tapi inilah pentingnya menjaga logika publik tetap waras. Karena di tengah kebisingan politik, kita harus tetap punya ruang untuk menertawakan kebodohan yang diseriusi.

Masalah ini bukan sekadar administratif. Ini soal harga diri.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved