Kupi Senye
Blok Medan Melawan Panglima GAM
Hari ini empat pulau digeser, besok bisa saja Banda Aceh disulap jadi kota satelit Sumut karena suara azan terdengar sampai Tapanuli.
Pemerintah Aceh, elit politik lokal, akademisi, hingga masyarakat sipil harus bersatu. Jangan biarkan pusat mempermainkan batas wilayah seenaknya.
Hari ini empat pulau, besok bisa jadi satu provinsi hilang dari peta.
Kita harus mendesak Presiden (yang entah siapa kini yang berkuasa sesungguhnya) dan Menteri Dalam Negeri untuk memulihkan peta sesuai sejarah dan hukum.
Atau bila tidak, rakyat Aceh punya hak untuk menggunakan segala upaya hukum dan bila perlu, jalan politik yang sah untuk mempertahankan kedaulatannya.
Untuk memulihkan peta sesuai sejarah dan hukum, sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan Permendagri No 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, yang menegaskan bahwa setiap perubahan batas wilayah harus melalui proses verifikasi objektif, partisipatif, dan legal bukan lewat akrobat politik birokrasi.
Dalam dunia yang dikuasai oleh peta digital dan kekuasaan digital, kita butuh lebih dari sekadar logika. Kita butuh keberanian. Karena sejarah mengajarkan satu hal: yang diam akan digusur, yang melawan akan dicatat.
Jadi, "Blok Medan" boleh berkoar, tapi Panglima GAM dan rakyat Aceh tahu persis: tanah ini bukan warisan penjajah, tapi darah nenek moyang yang tak akan dibeli dengan SK Menteri.
Pernyataan Muzakir Manaf alias Mualem yang menggelegar bukanlah nostalgia GAM, tapi alarm keras bahwa Aceh tak sudi dipetakan ulang oleh birokrat pusat yang bahkan tak bisa bedakan antara pulau dan pulau-pulauan.
Ketika Mualem bicara soal perlawanan, itu bukan sekadar amarah, melainkan peringatan bahwa rakyat Aceh punya memori panjang tentang bagaimana pusat kerap bermain mata dengan nasib daerah.
Ironisnya, di tengah riuhnya perampokan wilayah ini, muncul komentar dari Bobby Nasution yang menyarankan agar kita tak ribut soal pelat BK dan BL, karena “kita satu bangsa, satu negara”.
Ini ibarat maling yang bilang: "Ngapain marah? Kan kita masih satu keluarga".
Pernyataan ini bukan hanya melecehkan sejarah Aceh, tapi juga memperlihatkan betapa kekuasaan kini dikelola dengan logika arisan keluarga asal dekat istana, maka geografi pun bisa dinegosiasikan.
Jika pelat nomor bisa dijadikan pembenaran pencaplokan wilayah, maka jangan kaget bila esok lusa Meulaboh diklaim milik Medan karena angin lautnya menyapa Danau Toba.
Kita sedang menyaksikan republik yang dikemudikan seperti Google Maps tanpa sinyal berubah-ubah tergantung siapa yang pegang gawai kekuasaan.
Hari ini empat pulau digeser, besok bisa saja Banda Aceh disulap jadi kota satelit Sumut karena suara azan terdengar sampai Tapanuli.
| Kelangkaan Gas Elpiji di Aceh Tengah: Cermin Lemahnya Pengawasan dan Ketimpangan Distribusi Subsidi |
|
|---|
| Peran Baitul Mal Aceh Tengah dalam Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Kampung Keramat Mupakat |
|
|---|
| Tataniaga Kopi yang Manusiawi untuk Menyelamatkan Ekonomi Rakyat Gayo |
|
|---|
| Pasar Handicraft Gayo: Membangun Pusat Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Aceh Tengah |
|
|---|
| Air Mata di Balik Senyuman Seorang Guru |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gayo/foto/bank/originals/PENULIS-RIZKI-RAHAYU-FITRI.jpg)